Artikel dari Aloysius Gilang Andretti

Aloysius Gilang Andretti  adalah salah satu peserta Pekan Menulis Artikel Sejarah, yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-1 Temu Sejarah.

Seluruh isi artikel murni pandangan dari penulis, isi artikel diluar tanggung jawab redaksi Golali.id

Perjuangan untuk mengentaskan masalah kemanusiaan bertumbuh menjadi perasaan solidaritas.Terlebih jika bencana alam melanda, berbagai aksi solidaritas akan bergulir dengan sendirinya. Baik itu dari kesadaran individu maupun komunitas dan instansi, tak terkecuali toko buku.

Kurang lebih 70 tahun lalu di Daerah Istimewa Yogyakarta, Toko Buku (TB) Gunung Agung menggalang bantuan untuk bencana kelaparan yang melanda Gunungkidul. Bencana yang mengguncang daerah berpenduduk 400.000 orang pada 1956 itu, menjadi yang terburuk dalam catatan sejarah. Lebih buruk ketimbang yang terjadi sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, kapanewon (kecamatan) yang tadinya tidak tersentuh kelaparan mulai terjangkiti pula. Menggejalanya kelaparan sudah tampak sejak akhir Februari 1956.

Bupati yang baru dilantik kala itu, K. R. T. Wiraningrat mengatakan, rakyat yang dipimpinnya sudah memulai memakan daun-daun yang tidak lazim dikonsumsi. Lumbung pangan yang kosong, kekeringan ekstrem, gagal panen dan mengganasnya hama tikus menjadi perpaduan mematikan. Sebagaimana dikutip dari Kedaulatan Rakjat, 20 Februari 1956.

Baca juga : 18 Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul

Wartawan KR, bersama sejawatnya dari Antara, Nasional, Suara Ummat, dan Sin Po berinisiatif meninjau keadaan lapangan. Selama dua hari, mereka tinggal pada lokasi kelaparan paling parah di Kapanewon Semin dan Ngawen. Para wartawan ini memilih tinggal di desa-desa yang jauh letaknya dari keramaian. Dinukil dari Kedaulatan Rakjat, 9 Maret 1956.

Masih dari sumber yang sama, apa yang mereka dapati begitu menyedihkan. Lumut yang keringkan, kemudian direbus dengan garam, menjadi santapan lumrah. Bahkan sudah mulai dijual di pasar dengan harga Rp 2,5 per kilogram. Gaplek, yang menjadi makanan pokok, sudah tak terjangkau lagi. Harganya melambung lebih dari 700 persen. Jika biasanya gaplek dijual seharga Rp 20 per kuintal, kini harganya mencapai Rp 140 per kuintal.

Dengan mata sayu, tubuh lemas, nyeri di persendian, dan perut yang membusung, Gunungkidul tidak lagi menyambut hari baru dengan semarak. Kelaparan kian mengamuk, menjangkiti masyarakat.

Sepanjang Februari 1956, tercatat sebanyak 441 orang berada dalam rumah sakit darurat. Sementara itu, 1.145 orang tidak dirawat pada rumah sakit darurat yang tersedia. Sebanyak 128 orang telah meninggal dunia, seperti dituliskan Kedaulatan Rakjat, 6 April 1956.

Toko Buku Gunung Agung Bergerak

Berita kepedihan di Gunungkidul menjalar hingga Kota Yogyakarta. Kota yang tengah mempersiapkan pesta untuk hari jadinya ke-200 itu, mulai bergeliat mengulurkan bantuan.

Bantuan datang dari berbagai pihak, salah satunya TB. Gunung Agung. Toko buku yang beralamatkan di Tugu Kulon 2 itu, menggelar kegiatan bertajuk “Hari Amal Kurban Hongeroedeem.” Kegiatan itu diiklankan dalam Kedaulatan Rakjat, 13 April 1956.

Seluruh hasil penjualan kotor – tidak hanya keuntungan, tapi termasuk harga beli produk – selama 14 April 1956, akan disumbangkan seluruhnya ke Gunungkidul. Harga buku yang dijual tetap sama, tidak ada kenaikkan. Oleh karena itu, semakin banyak orang berbelanja, maka semakin banyak donasi yang terkumpul.

Segenap pegawai TB. Gunung Agung, bertekad bekerja lembur pada hari itu. Jikalau ada uang lembur, maka sepenuhnya diberikan untuk masyarakat Gunungkidul.

Selama penyelenggaraan kegiatan, direksi N. V. Gunung Agung dari Jakarta, Sdr. Tjio, datang ke Yogyakarta. Hasilnya, jumlah pembeli dan pendapatan kotor meningkat dua kali lipat. Jumlah pembeli pada hari amal itu, mencapai 453 orang, biasanya per hari hanya 200 orang.

Pendapatan yang terkumpul hari itu mencapai Rp 8.387,79. Seluruhnya diserahkan kepada Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakjat, Sdr. Wonohito, untuk disalurkan kepada korban busung lapar. Bantuan lain juga datang dari Ketua Pegawai TB. Gunung Agung, Nj. Soewandi. Ia menyerahkan seluruh uang lembur pegawai selama bulan April untuk disumbangkan, dikutip dari Kedaulatan Rakjat, 16 April 1956.

Solidaritas tidak hanya muncul tatkala kemanan nasional terguncang. Maka dari itu, perjuangan dan catatan sejarah sudah semestinya tidak melulu menuliskan heroisme perang belaka. Sebab, perjuangan dan solidaritas bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Dengan demikian, sudah sepatutnya pula perjuangan dan solidaritas untuk kemanusiaan masuk dalam narasi besar sejarah Indonesia.

Referensi

“Banjak rakjat Gunung Kidul makan daun2an”, Kedaulatan Rakyat, 20 Februari 1956, hlm. 2.

“Gunung Kidul sepintas-lintas (I): Rakjat dipelosok2 lapar, bekitjot, djamur batu mulai dimakan”, Kedaulatan Rakjat, 9 Maret 1956, hlm. 2.

“Gunung Kidul sepintas-lintas (III): Hongeroedeem sukar dibrantas? Obat jang mandjur … “Makan banjak”, Kedaulatan Rakjat, 13 Maret 1956, hlm. 2.

“Tadjuk Rentjana: MAUT DI INDONESIA MERDEKA!”, Kedaulatan Rakjat, 6 April 1956, hlm. 2.

“Belandjalah Di Gunung Agung”, Kedaulatan Rakjat, 13 April 1956, hlm. 2.

“Rp. 8.387,79 Untuk H.O.”, Kedaulatan Rakjat, 16 April 1956, hlm. 1.