Karya surat Venus Nareswari terpilih menjadi surat favorit Dewan Juri, pada Lomba Menulis Surat dari Perempuan untuk Indonesia dengan tema “Kartini: dari Terang Menuju Cahaya”.

Lomba Menulis Surat dari Perempuan untuk Indonesia digelar Komunitas Temu Sejarah Indonesia berkolaborasi dengan media online Golali.id, yang didukung digitalmama.id, Art Gullery, dan bandungbergerak.id.

Lomba Menulis Surat dari Perempuan untuk Indonesia sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi atas perjuangan Kartini, salah satu pahlawan nasional yang gigih memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia.

Inilah isi surat dari Venus Nareswari untuk Indonesia

Surat dari (Katanya) Minoritas,

Kartini, surat kali ini bukan dari pejabat perempuan, bukan juga dari perempuan yang memiliki karir cemerlang, bukan dari perempuan yang sedang mengandung, apalagi dari perempuan yang apatis terkait dengan hak-haknya sebagai perempuan yang semakin hari dilanggar. Tapi, surat ini berasal dari yang katanya minoritas. Minoritas katanya, entah satu kata itu tidak cukup menggambarkan situasi yang kami rasa, secara menyeluruh. Alih-alih menggambarkan keprihatinan, minoritas malah menusuk kami dengan meminggirkan kaum kami, mensegregasikan mana yang mayoritas mana yang minoritas, mana yang punya kuasa lebih mana yang tidak punya kuasa sama sekali.

Kami lebih memilih dipanggil sebagai kelompok rentan, kelompok yang membutuhkan pertolongan dari kelompok yang tidak rentan. Kami tidak memilih untuk dilahirkan sebagai kelompok rentan, tapi untuk membantu kelompok rentan dan menyuarakan hak-haknya, itu sebuah pilihan yang bisa dipilih, kan? Kelompok rentan bukan berarti lemah, kami bisa kok berdaya, tapi kenapa setiap kami berdaya selalu ada kelompok-kelompok yang tidak terima? Sehingga menjatuhkan kami atas nama percaya.

Jantung kami selalu berdebar, saat orang-orang berbondong-bondong datang kepada kami. ‘Bakar’ ‘Jatuhkan’ ‘Darahnya layak untuk dibunuh’ apalagi kata-kata tersebut semakin lama semakin digaungkan. Seorang perempuan yang katanya minoritas, harus menanggung akibat-akibat dari serangan — atas nama percaya tersebut. Tubuh kami dan kepercayaan kami, dijadikan satu dan dipajang sehingga orang-orang bisa melihat kami dengan mata telanjang, dari kepala, bahu, pinggul, lutut, mata kaki, ideologi — Tuhan kami sekalipun, mereka melihatnya dengan jijik.

Jika menjadi perempuan kata Simone de Beauvoir adalah sebuah proses, menjadi perempuan dan minoritas katanya, kami anggap sebagai proses yang perlu darah sebagai simbol kedukaan yang mendalam.

Tahun 1998, saat sebuah tragedi merajalela, kami harus menanggung satu dosa besar yang dilakukan pemuda-pemuda itu kepada tubuh kami, diperkosa. Pemuda-pemuda itu mana ngerti padanan kata tersebut, kami, yang menyaksikan dan merasakannya. Hanya karena identitas kami, ketubuhan kami, ras kami, dan kulit kami.

Menurut The Wahid Institute, angka kekerasan atas nama agama di Indonesia yang terus meningkat di tahun 2005, ada sebanyak 25 kasus, di tahun 2006: 35 kasus dan di tahun 2007 sudah mencapai 20 kasus. Kasus-kasus tersebut selalu melibatkan perempuan di dalamnya, perempuan adalah korban kekerasan paling rentan atas nama agama. Tapi praktik keagamaan itu sendiri, tidak selalu berpihak pada perempuan, perempuan yang menjadi kelompok rentan dalam kasus berbasis agama tidak dipedulikan, seperti minoritas dari yang minoritas.

Menjadi seorang perempuan — seperti kami — terkadang mengharuskan kami untuk takut pada kekuatan sendiri, dan tunduk pada sistem sosial yang mengharuskan kami untuk tunduk padanya. Negara seakan-akan mengisyaratkan kami untuk ‘pergi’ padahal negara sendiri yang membinasakan kami.

Ingin menjadi pemimpin ditolak, ingin beribadah ditolak — bahkan dipaksa untuk menutup tubuh agar lepas dari komplotan laki-laki yang haus hasrat seksualnya, bahkan jalan di jalan yang sama dengan orang lain pun ditolak, dicacimaki serta dipindai dari atas ke bawah. Lantas, apakah harus menjadi mayoritas dan laki-laki untuk dapat diterima di tengah masyarakat ini? Lahir menjadi perempuan saja sudah harus bergulat dengan ini-itu, apalagi menjadi perempuan yang katanya minoritas?

Kartini, jika lewat surat yang isinya keresahan tentang pernikahannya dapat membuat pandangan istri-istri menjadi berdaya dan berubah, apakah dengan surat dan keresahan ini dapat membuat perempuan yang katanya minoritas juga berdaya?

Kartini, Jika kamu tahu sekarang, negara telah memperkosa perempuan minoritas, perih, bukan?

(Melalui proses editing Tim Golali.id)