Surat karya Nurul Fadhilah menjadi surat terpilih pada Lomba Menulis Surat dari Perempuan untuk Indonesia dengan tema “Kartini: dari Terang Menuju Cahaya”.
Lomba Menulis Surat dari Perempuan untuk Indonesia digelar Komunitas Temu Sejarah Indonesia berkolaborasi dengan media online Golali.id, yang didukung digitalmama.id, Art Gullery, dan bandungbergerak.id.
Lomba Menulis Surat dari Perempuan untuk Indonesia sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi atas perjuangan Kartini, salah satu pahlawan nasional yang gigih memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia.
Inilah isi surat dari Nurul Fadhilah untuk Indonesia
Perempuan Pembangun Peradaban
Pada proses kehidupan ini, kita sudah banyak mendapat pelajaran dari sebuah kisah pilu para pahlawan. Banyak sudah yang dikorbankan dari gagasan, materi, sampai nyawa dipertaruhkan.Dari sebuah negeri yang diselimuti kegelapan, itu semua diperjuangkan demi menemukan setitik terang demi kemerdekaan. Harapan para pejuang tidak berujung sia-sia, kemerdekaan telah diraih hingga merah putih dapat berkibar dengan bebas.
Namun, apakah setelah kemerdekaan kita lantas berhenti berjuang?
Tentu tidak berhenti sampai di sana, kita harus terus berbenah diri demi kemajuan Indonesia, karena sudah terlalu lama dalam kepungan ketidakberdayaan. Sehingga kita tertinggal dalam banyak aspek penyokong kemajuan bangsa. Karenanya selama masih adanya ketertinggalan dan ketidakadilan yang menghambat pertumbuhan bangsa, segala bentuk perjuangan akan terus berlanjut.
Perempuan harus memiliki cara pandang yang kritis, untuk memperjuangkan kemajuan kaum perempuan dan menyuarakan hak-hak perempuan yang termarjinalisasi. Jika hal-hal yang menjadi sumber kesakitan dan penderitaan masih terus dinormalisasi, maka kemajuan masih menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Para pejuang perempuan, selalu dengan lantang menyuarakan penindasan yang terjadi dari zaman penjajahan sampai sekarang. Perempuan masih harus berjuang menghadapi berbagai tantangan yang mengekang, mulai dari adat dan tradisi sampai pandangan yang terbangun karena konstruksi masyarakat yang sudah terjadi ratusan tahun sebelumnya.
Berbagai adat dan tradisi yang masih terdapat sistem patriarki, di dalamnya perempuan selalu di tempatkan pada strata kedua. Perannya hanya dianggap sebagai pelengkap kehidupan laki-laki semata dan haknya sering diabaikan, sebagai sesama manusia yang setara. Sehingga perempuan dalam masyarakat Indonesia mengalami ketertinggalan SDM (sumber daya manusia), dibanding laki-laki akibat banyak faktor yang diabaikan.
Kartini merupakan sosok perempuan yang bisa kita jadikan contoh, dari bentuk ketidakadilan yang ada.Sebagai tokoh emansipasi dan perjuangannya melawan feodalisme seharusnya dapat membuka mata kita, sehingga terbangunnya kesadaran bahwa banyak yang harus dikorbankan untuk sebuah perubahan. Oleh karena itu, karena merasa memiliki kesamaan nasib dengan para perempuan lain, Kartini lantas memanfaatkan privilege (hak istimewa) yang didapatnya sebagai anak seorang bupati. Sehingga dapat merasakan pendidikan dan belajar dengan tekun, serta banyak berdiskusi dengan para intelek Belanda.
Namun karena adat yang berlaku, Kartini kemudian dipingit pada usia 12 tahun dan menikah pada usia 24 tahun. Meskipun demikian, Kartini merupakan sosok yang realistis, pada kondisi saat itu ia menyadari bahwa ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa sosok lelaki pemangku jabatan, sehingga Kartini merelakan perasaannya dan membiarkan dirinya terjebak pada sistem yang selama ini ia lawan. Karena dengan seperti itu akan banyak yang bisa diusahakan untuk kepentingan bangsa, terbukti setelahnya Kartini mampu membangun sekolah yang diberi nama Sekolah Kartini.
Bukan hanya dalam lingkup rumah tangga tetapi pada banyak aspek perempuan selalu mendapat posisi kedua, bahkan kita masih banyak menemukan ketimpangan yang terjadi tempo dulu namun masih relevan di zaman sekarang.
Maka dari itu kita akan membahas sedikit dari beberpa kasus yang sering terjadi, di antaranya adalah pernikahan dini, kekerasan seksual, dan glass ceiling (hamabtan berkarir). Karena hal-hal ini sangat penting, mari kita bahas secara ringkas mengenai urgensi dari kasus-kasus tersebut.

Menurut data United Nations Children’s Fund (UNESCO) Indonesia memiliki kasus 25,53 juta perkawina anak sepanjang tahun 2023, hal ini mengantarkan Indonesia sebagai peringkat ke empat dalam kasus perkawinan dini. Hal ini merupakan masalah serius, karena akan banyak dampak negatif yang ditimbulkan.Namun pemberian pemahaman kepada orang tua dan lingkungan juga harus dimaksimalkan, karena akan menjadi sosok yang sangat penting dalam memberikan pemahaman terhadap dampak yang akan terjadi.
Selain hal tersebut pemerintah juga harus lebih tegas dalam menegakan peraturan, karena yang terjadi di lapangan masih sering terjadi lolosnya pengajuan perkawinan anak di bawah umur. Kasus ini terjadi karena banyak faktor, di antaranya yang paling menonjol adalah pergaulan bebas dan kurangnya edukasi dari dampak yang akan dirasakan seperti mental dan finansial yang belum stabil, hamil yang beresiko dan berdampak panjang seperti stunting, bayi prematur, dan malnutrisi.
Kemudian pada kasus kekerasan seksual didalamnya termasuk pelecehan verbal dan fisik sampai KDRT, yang terjadi juga sangat memprihatinkan. Contohnya adalah catcalling (pelecehan seksual yang dilakukan di ruang publik dengan memberikan kata-kata tidak senonoh kepada korban) yang dianggap tindakan yang biasa saja, namun jika semakin dinormalisasi maka akan semakin sulit diminimalisir, serta akan menimbulkan dampak dan tindakan yang lebih amoral jika masalah kecil terus disepelekan.
Belum lagi kasus pemerkosaan yang menimpa korban, namun korban juga menjadi pihak yang disalahkan tidak peduli umur, baju, bahkan suara perempuan yang dianggap sebagai pemicu tindakan tersebut.
Kasus-kasus tersebut merupakan dampak yang ditimbukan dari sistem patriarki, yang masih melekat di masyarakat Indonesia sehingga adat dan tradisi yang tercipta sebelumnya berakar dari pemikiran yang misoginis. Demikian segala bentuk diskriminasi kepada semua kaum tanpa memandang jenis kelamin harus dihapuskan, karena tidak ada yang benar-benar diuntungkan.
Hal ini tidak lepas dari sudut pandang nenek moyang yang terus dilestarikan dan semakin lama semakin tidak relevan, padahal dalam banyak hal sudut pandang itu harus diubah bukan diwariskan. Jika terus mewarisi sudut pandang lama, maka kita akan sukar mengalami kemajuan karena tidak banyak perubahan yang dilakukan.
Jika segala bentuk ketidakadilan terus dinormalisasi, lantas bagaimana kita menciptakan sumber daya manusia yang unggul jika hal yang berkaitan dengan moral masih disepelekan. Nilai-nilai kebaikan semakin tergerus zaman, karena globalisasi dan digitalisasi sehingga penyebaran informasi semakin pesat dan tidak terkontrol.
Ketidakadilan yang tidak dibenahi dan terus dinormalisasi merupakan sebuah bentuk penindasan, banyak yang harus kita lakukan untuk mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih baik lagi. Jika saja semua faktor-faktor pendukung dapat disikapi dengan baik, maka kedepannya kita mampu menghadirkan generasi yang unggul dalam berbagai sektor penunjang kemajuan.
Jika dapat kita analogikan cahaya sebagai gambaran sebuah perubahan baik yang tercipta, tidak lepas dari segala bentuk perjuangan yang konsisten dilakukan dari generasi ke generasi dan dukungan semua pihak yang turut dilibatkan.
Oleh karenanya perempuan mempunyai andil yang besar dan harus mempunyai cara pikir yang kritis, karena perempuan mempunyai peran penting dalam semua aspek pembangunan bangsa.
Lewat rahimnya, perempuan melahirkan keturunan, perempuan yang terdidik mampu menghasilkan anak-anak yang berkualitas karena cara didik dan cara pandang sebagai seorang ibu yang berwawasan luas, maka lisan perempuan juga turut melahirkan peradaban bagi bangsa.
Oleh karena itu, jika masih menginginkan kemajuan suatu negara, maka kualitas hidup layak bagi perempuan harus ditingkatkan kembali.
(Melalui proses editing Tim Golali.id)