Artikel dari Shinta Oktapianti adalah salah satu peserta Pekan Menulis Artikel Sejarah, yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-1 Temu Sejarah.

Seluruh isi artikel murni pandangan dari penulis, isi artikel diluar tanggung jawab redaksi Golali.id

Kebudayaan adalah puncak dari peradaban yang harus tetap dilestarikan dan diwariskan secara turun temurun. Indonesia menjadi sebuah tempat dimana tradisi dan kebudayaan leluhur masih dipertahankan, tidak terhitung berapa banyak tradisi yang masih dilakukan hingga saat ini. Ditengah-tengah modernisasi, tradisi leluhur masih dapat kita temukan dimasyarakat Indonesia. Adapun tradisi dan kebudayaan yang menarik dapat kita temukan salah satunya di Kabupaten Kuningan.

Kuningan adalah salah satu kabupaten yang secara administratif berada di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten ini berbatasan secara langsung dengan Kabupaten Cirebon dibagian utara, Kabupaten Majalengka dibagian Barat, Kabupaten Ciamis dan Cilacap dibagian selatan serta Kabupaten Brebes dibagian timur. Berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan, kabupaten ini masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun, bahkan dibeberapa kecamatannya masih dilestarikan, contohnya saja kesenian Sintren di Kecamatan Cibingbin. Menilik bagaimana situasi sosial-budaya diwilayah Cibingbin melalui laman web Kuningankab.go.id, dituliskan bahwa sintren menjadi salahsatu kesenian yang berasal dari kecamatan tersebut, tepatnya di Desa Dukuhbadag.

Setiap tahunnya saat milangkala Desa Dukuhbadag pasti akan ada sebuah gelaran kesenian sintren dan juga dilangsungkan tradisi lainnya yang masih dipertahankan seperti sedekah bumi. Diperkirakan kesenian sintren dibawa oleh pendatang dari daerah Cirebon dan Brebes yang mencari nafkah sekaligus menjual jasa memanen padi.

Mereka yang datang tersebut tidak hanya ke Dukuhbadag saja tapi sampai ke kecamatan Cibereum (dulunya bagian Cibingbin) dan sampai ke Tanjungkerta di Kecamatan Karangkancana. Bahkan menurut Supardan dan Darmoko, kesenian sintren ini merupakan tradisi yang berasal dari wilayah pantai utara Jawa barat sampai Jawa tengah mulai dari Cirebon, pemalang dan pekalongan. Tentu dengan adanya kedekatan dengan wilayah lain maka mobilitas dari wilayah sekitarnya akan terjadi, seiring waktu kebudayaan dari wilayah tersebut akhirnya mengakar di Cibingbin sekitarnya dan masih dilestarikan hingga saat ini.

Awalnya sintren merujuk pada pelaku seni yang menunjukkan aksinya, tetapi sekarang lebih merujuk kepada keseluruhan pertunjukkan seni. Dari beberapa literatur yang telah terbit, kepastian kapan awalnya pertunjukkan seni sintren ada di Cibingbin tidak jelas, hanya saja terdapat satu sumber yang menyatakan bahwa pada tahun 1930 sintren muncul di Dukuhbadag oleh ibu Warjiah. Biasanya yang menjadi sintren adalah seorang anak perempuan yang belum menstruasi, hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa anak tersebut masih suci atau menurut Supardan dalam jurnalnya menyatakan bahwa gadis yang masih suci tersebut disebut gadis bau kencur.

Kesenian sintren ini dahulu menjadi hiburan masyarakat tanpa adanya panggung, cukup menggunakan tikar dihalaman rumah. Para pemainnya juga tidak mendapatkan bayaran khusus untuk setiap penampilannya hanya sekedar makanan yang disajikan oleh pemilik rumah tempat pementasan. Hal ini dikarenakan sintren merupakan sebuah pertunjukkan untuk hiburan semata para petani setelah memanen padi. Dalam pertunjukkan sintren, anak perempuan akan dimasukkan ke dalam kurung ayam, dan beberapa waktu akan dilakukan ritual pemanggilan bidadari, lalu anak yang masuk ke dalam kurung tersebut akan berubah menjadi bidadari dengan pakaian kerajaan dan sudah berdadan cantik serta menggunakan kacamata hitam. Sintren akan menari sambil berdiri lemah gemulai mengikuti irama gamelan.

Perkembangan kesenian dan kebudayaan yang ada dimasyarakat dari berbagai suku merupakan bagian identitas bangsa Indonesia yang harus selalu dilestarikan, tidak hanya sebagai cerita dimasyarakat saja tetapi juga tetap dipertunjukkan dalam sebuah pagelaran. Tentu saja sintren bukan hanya sekedar aksi anak perempuan yang dapat berganti pakaian menjadi bidadari, tetapi dibalik itu semua kita dapat berimaji bagaimana kesenian ini berkembang ditengah para petani saat itu, serta kesenian ini dapat memberikan hiburan untuk petani dalam melepaskan penat dan lelah. Jelas bahwa adanya kesenian sintren ini memperlihatkan jati diri bangsa Indonesia yang dari dulu adalah masyarakat yang agraris. Walaupun dunia kita sekarang sudah modern, tetapi kita tidak boleh melupakan akar sejarah, tradisi, dan kebudayaan leluhur kita. Karena apapun yang ada dimasa lalu, adalah sebuah gambaran untuk kita dalam menggapai masa depan bangsa Indonesia.

Referensi

Buku

Ekadjati, E. (2022). Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten. Bandung: Kiblat.

Jurnal ilmiah

Aditama, L. (2016). KESENIAN SINTREN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DITINJAU DARI METAFISIKA ANTON BAKKER. Jurnal Penelitian Humaniora, 21(1), 57-72.
Darmoko, P. (2014). Kesenian Sintren dalam tarikan Tradisi dan Modernitas. Jurnal Ilmiah Madaniyah, 4(1), 115-125.
Supardan, D. (2012). Sintren Art Show : The Analysis of the Declining of Historical Awareness Happening in the Coastal Border of West Java and Central Java and Its Contribution to the History Learning. Historia, 8(1), 1-26.

Laman web

Kecamatan Cibingbin. (2023). Kesenian Tradisional Lokal. Diakses pada 16 Januari 2025, https://kec-cibingbin.kuningankab.go.id/kesenian-tradisional-lokal/
Mahrudin, A. (2022). Sintren Masih Lestari di Dukuhbadag Kuningan, Aset Budaya yang Harus Dipertahankan. Diakses pada 16 Januari 2025, https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-015354962/sintren-masih-lestari-di-dukuhbadag-kuningan-aset-budaya-yang-harus-dipertahankan?page=all