Salsabilla Rasika Sumekto, Wisudawan ITB yang Penuh Inspirasi

Salsabilla Rasika Sumekto, merupakan lulusan Desain Komunikasi Visual (DKV) ITB dengan kebutuhan khusus atau teman tuli karena sejak lahir hanya mampu mendengar suara di atas 90-110 desibel. Salsabila Rasika Sumekto menjadi satu dari 2.050 wisudawan pada wisuda gelombang ketiga ITB yang berlansung, Sabtu 23 Juli 2022 di Sasana Budaya Ganesa ITB.

Dalam tugas akhirnya, Salsabilla mengangkat tema mengenai budaya tuli di Indonesia. Salsabila terinspirasi dari berbagai pengalaman pribadinya sendiri yang kemudian ia visualisasikan.

Salsabilla membuat karya buku ilustrasi landscape lengkap dengan hardcover berukuran A4. Isinya merupakan kompilasi ilustrasi yang memberikan pemahaman mendalam tentang budaya tuli sehingga bisa bersifat edukasional. Tugas akhirnya tersebut cukup otentik karena dibuat dari perspektif seorang teman tuli, hal itu karena kebanyakan karya DKV lain bertemakan “tuli” dibuat berdasarkan perspektif seseorang yang dapat mendengar.

Salsabilla mengaku tidak ada kendala dari segi teknik visualisasi karya tugas akhirnya. Alih-alih menurutnya, hal yang cukup sulit adalah mencari sumber literatur yang spesifik dengan karakter bangsa Indonesia secara kredibel. Hal itu menyebabkan adanya kendala dalam wawancara dengan teman-teman tuli untuk penelitiannya.

“Seharusnya ada penelitian lebih detail tentang budaya tuli karakter bangsa Indonesia secara nasional, namun penelitian tersebut masih sedikit. Oleh karena itu, upaya maksimal yang bisa dilakukan adalah focused discussion dengan empat narasumber saja, dan sisanya pengutipan dari artikel atau jurnal internasional tentang budaya tuli di dunia,” kata Salsabilla dalam rilis ITB.

Salsabila mengisahkan, selama berkuliah di ITB, Salsabilla mengandalkan visual sepenuhnya. Ia menangkap pembelajaran melalui tulisan-tulisan yang dipresentasikan dosen hingga catatan materi kuliah yang telah dicatat oleh rekan-rekan mahasiswa lainnya.

Dalam metode membaca gerakan bibir, bagi Salsabilla pribadi keakuratannya hanya 30 persen, sehingga ia lebih mengandalkan visual dan tulisan. Dalam hal ini, Salsabilla mengatakan terdapat metode preferensi komunikasi yang berbeda-beda di antara teman-teman tuli, tidak semuanya mampu mencerna melalui tulisan dan ada yang lebih nyaman lewat bahasa isyarat. Maka dari itu, dapat dipertimbangkan layanan Juru Bahasa Isyarat dan dibangunnya UKM “Pusat Layanan Disabilitas” di kampus sehingga bisa mengakomodasi teman-teman disabilitas ke depannya.

Mengenai kendala dalam proses pembelajaran, Salsabilla mengaku bahwa semuanya dapat ia cerna dengan baik. Namun, baginya cukup disayangkan ketika ia tidak dapat “mendengarkan” saat para dosen bercerita pengalaman pribadi atau tidak tertulis di dalam slide presentasi.

Alumni SMA Negeri 1 Depok ini menilai, ITB juga sudah semampunya memberikan akses dan fasilitas yang maksimal. Ia berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantunya selama berkuliah di ITB.

“Perjalanan di DKV ITB juga membentuk aku dalam menunjang karier nantinya. Pengalaman yang berharga untuk menjadi bekal ilmu fundamental yang penting dalam ranah ilustrasi, komik, animasi, dan desain grafis. Hal yang terpenting dari DKV ITB itu adalah membentuk pola pikir yang membuka banyak pandangan baru dalam ranah DKV,” tuturnya. (Yatni Setianingsih/Golali.id)

Foto : itb.ac.id