Resensi Buku Kota di Djawa Tempo Doeloe

Buku Kota di Djawa Tempo Doleo yang ditulis Olivier Johannes Raap (penulis sejarah asal Belanda), menjelaskan tentang kondisi kota-kota di Pulau Jawa abad ke-19 sampai dengan abad ke-20 berdasarkan data dan gambar yang terdapat dalam kartu pos yang diterbitkan pada abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, ditambah data penunjang lainnya terkait aristektur dan sejarah dari kota-kota tersebut.

Dalam buku Kota di Djawa Tempo Doeloe pembaca akan diajak menggali sejarah di antaranya Alun-alun, masjid agung, pasar, kawasan pecinan, dan lain-lain.

Kota di Djawa Tempo Doeloe mengulas 44 kota berdasarkan 277 lembar kartu pos. Antara lain Yogyakarta, Solo, Semarang, Purworejo, Bandung, Garut, Malang, dan lain-lain.

“Suatu alun-alun model prakolonial dapat ditemui di kota warisan kerajaan kuno yang didirikan pada abad ke-18. Di Solo dan Yogyakarta, alun-alun merupakan halaman di sebelah utara (alun-alun lor) dan sebelah selatan (alun-alun kidul) keraton. Alun-alun utara dianggap lebih penting, dengan masjid dibangun di sisi barat. Alun-alun model ini tidak dikelilingi jalanan ramai, tetapi lebih terintegrasi dalam kompleks keraton.

Model alun-alun kolonial lahir pada abad ke 19. Ketika itu, banyak kota mendapatkan status sebagai ibu kota daerah administratif kolonial afdeeling yang dipimpin oleh seorang asisten residen. Pembagian afdeeling diikuti dengan pembentukan daerah administratif pribumi yang sederajat, yaitu kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati. Oleh karena itu di sekitar alun-alun tidak hanya dibangun kediaman asisten residen tetapi juga kediaman penguasa pribumi yaitu bupati.

Ada kecenderungan kediaman kedua pejabat tersebut saling berhadapan, dengan “kabupaten” di sisi utara dan “asisten” di sisi selatan (Bondowoso), atau terbalik (Garut). Namun sebenarnya tidak menjadi masalah jika kediaman penguasa dibangun di sisi utara, selatan, atau timur alun-alun selama tidak di sisi barat yang memang dikhususkan untuk masjid. Berbeda dengan model prakolonial, alun-alun model kolonial merupakan titik pertemuan jalan utama ke semua arah,” (Halaman 1-2)

“Garut memiliki alun-alun model kolonial berukuran sekitar 100 x100 meter, dengan Pohon Beringin yang besar ditengahnya. Alun-alun dan gedung di sekelilingnya mulai dibangun pada 1813 saat pendirian wilayah administratif Kabupaten Garut.

Di tengah alun-alun berdiri sebuh bangunan bundar, yaitu sebuah paseban khas Sunda yang disebut babancong dan berfungsi sebagai panggung tempat bupati berpidato (Djick 1922:64). Bangunan itu dibangun sekitar tahun 1880 (Heijboer 1980:59)

Selain bangunan tersebut, di sebelah barat alun-alun dibangun Masjid Agung, di sebelah timur dibangun penjara, dan di sebelah utara dibangun kediaman asisten residen,” (Halaman 13) (Yatni Setianingsih/Golali.id)

foto : Alun-alun Garut tahun 2022 (dok : Humas Pemprov Jabar)

Data Buku :

Judul Buku : Kota di Djawa Tempo Doeloe

Penulis : Olivier Johannes Raap

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun Terbit : Cetakan kedua 2017