Judul Buku                          : #HidupKadangBegitu

Penulis                                 : Nadirsyah Hosen dan Maman Suherman

Jumlah Halaman               : 238 halaman

Penerbit                               : Noura Books

Cetakan                               : Cetakan I, Maret 2020

ISBN                                    : 978-623-242-111-0

Buku #HidupKadangBegitu yang ditulis Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) dan Maman Suherman (Kang Maman) merupakan kumpulan esai, yang bertitik tolak dalam kisah keseharian dari dua tokoh yang berbeda profesi.

Dalam buku ini Gus Nadir maupun Kang Maman, mengisahkan pengalaman hidup masing-masing yang dapat kita petik untuk pelajaran hidup.

Gus Nadir menyoroti mahasiswa generasi media sosial (medsos) yang ditengarai tidak lagi rajin membaca literatur. Mahasiswa lebih banyak membaca status Facebook atau kultwit di Twitter.

Banyak pakar yang khawatir, generasi medsos ini adalah generasi yang paling malas baca buku dan hadir di perkuliahan.

“Pada satu sisi, sajian di medsos yang disampaikan para dosen dan peneliti, merupakan hasil ramuan dan ringkasan pengetahuan atau bacaan mereka. Namun tentu saja, itu tidak akan mendalam. Bagaikan irisan bawang yang disampaikan baru kulit luarnya saja. Sebaiknya sajian yang menarik di medsos mampu menginspirasi pembacanya untuk mencari info lebih lanjut. Jadi, pembaca tidak hanya berhenti di share atau retweet saja.” (Halaman 116)

Candaan Gus Nadir dengan koleganya di Monash University (tempatnya mengajar) yang juga aktif di medsos, saat ini dosen tidak hanya dituntut jago meneliti dan pintar ngomong di depan kelas, tetapi juga harus rajin update status di medsos.

Dan berapa banyak followers di medsos seharusnya digunakan untuk menentukan impactfactor riset.

“Mudah-mudahan kami para dosen tidak keasyikan main Twitter dan Facebook sehingga melupakan tugas utama yaitu meneliti dan mengajar. Dan semoga kawan-kawan mahasiswa tidak lupa untuk tetap membaca buku-buku tebal selain mengakses medsos.” (Halaman 117)

Sementara Kang Maman menuliskan salah satu pengalamannya saat berbelanja kepada pedagang kecil dan besar, yang menempatkan diri berbeda demi suatu gengsi.

“Berbelanja ke pasar tradisional aku masih saja menawar harga seikat kangkung yang dijajakan seorang ibu tua. Harga Rp2.000 seikat masih saja tega kutawar Rp5.000 tiga ikat.

Harga centong atau ember yang dijajakan Pak Tua yang menarik kereta kayu keliling perumahan dengan susah payah, masih saja kutawar hingga hampir setengah jam.

Hingga Pak Tua itu seperti dalan posisi terdakwa menghadapi rentetan pertanyaan yang memojokkannya, seolah angka yang disebutkannya adalah penipuan konsumen yang luar biasa.Tetapi ketika makan di restoran, saat bon diberikan tak ada tawar-tawaran yang aku lakukan.

Harga total ku bayar, sudah termasuktax and service. Dan ketika masih ada kembaliannya, dengan sombong kutaruh di tatakan kecil di atas meja, supaya dilihat oleh teman-teman di sekitarku, bahwasannya sungguh aku sangat pemurah.

Aku menjadi bagian dari banyak manusia yang merasa hebat ketika bisa menekan orang lemah, tapi melunak dan segan kepada orang yang memang sudah berpenghasilan lebih besar dari ibu pedagang kangkung di pasar.

Aku yang mengaku umat Muhammad SAW. lupa sama sekali pada sabdanya,”Carilah (Keridhaan)Ku melalui orang-orang lemah di antara kalian. Karena sesungguhnya kalian diberi rezeki dan ditolong juga disebabkan orang-orang lemah di antara kalian”” (Halaman 159)

Apa yang dituliskan dalam buku ini, merupakan bagian pengalaman yang kadang pernah kita rasakan, namun perbedaannya kedua penulis dengan tempat tinggal berbeda negara yakni Australia dan Indonesia ini, selalu mengambil hikmah dari setiap perjalanan hidup yang mereka lalui. Selain kumpulan esai, pembaca bisa menemukan beberapa puisi karya Gus Nadir dan Kang Maman. (*/Golali.id)