Buku Demokrasi di Era Post Truth yang ditulis Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan dan Wakil Gubenur STIN, Barito Mulyo Ratmono menjelaskan secara gamblang bagaimana media sosial menguasai kehidupan saat ini.

Hal ini sangat memengaruhi masyarakat dalam mendapatkan informasi dengan mudah, sayangnya sangat jarang ada verifikasi terlebih dahulu.  Inilah yang disebut era pasca-kebenaran (post-truth).

Budi Gunawan dalam bukunya menulis, media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah.  Memunculkan teori-teori konspirasi liar,membicarakan kubu tertentu secara negatif tanpa dasar yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat.

Menurut Budi Gunawan, ada empat kategori disinformasi post-truth yang diproduksi dan disirkulasikan, yaitu disinformasi politik, nonpolitik, hiburan, dan demi keuntungan finansial.

Disinformasi post-truth pun berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting.

Di Indonesia, polarisasi politik, khususnya dalam satu atau dua dekade ini, tampak nyata dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Dalam hal ini muncul bukan hanya polarisasi isu, melainkan juga polarisasi geokultural.

Konten-konten negatif lalu-lalang mengaburkan fakta-fakta politik sebenarnya dan melahirkan apa yang disebut politik post-truth.

Contohnya polarisasi politik pada Pemilu 2019, misalnya, jauh lebih intens dan lebih tajam dibandingkan dengan Pemilu 2014. Proliferasi dan viralisasi konten-konten kampanye hitam, yang cenderung provokatif melalui hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian marak digaungkan di ruang virtual.

“Polarisasi diwarnai dengan produksi serta viralisasi konten-konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian, serta kampanye hitam yang memunculkan kegaduhan dan berpotensi mengancam kohesi sosial serta keamanan nasional,” tulis Budi Gunawan.

Praktik-praktik politik post-truth tentu akan membawa konsekuensi negatif berupa terkikisnya tradisi perdebatan yang sehat di masyarakat, terjadinya kebuntuan politik, dan timbulnya ketidakpastian terkait kebijakan. Bahkan, post-truth ini bisa menjadikan masyarakat mengalienasi diri dari dinamika politik.

Menurut Budi Gunawan, demi mengamankan demokrasi elektoral mendatang, perlu adanya perumusan strategi untuk mengantisipasi praktik disinformasi post-truth. Ada empat strategi yang ditawarkan.

Pertama, memperkuat intelijen siber di Badan Intelijen Negara. Cara ini meliputi strategi penyebaran informasi, pelatihan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) intelijen tentang dunia siber dan platform media baru. Ini dilakukan agar intelijen Indonesia mampu merespons serta mengantisipasi beragam disinformasi.

Kedua, melakukan intervensi teknologi. Harus ada upaya inovasi teknologi fact-checking oleh negara, industri platform, dunia akademis, maupun masyarakat sipil. Selain itu,teknologi filter konten oleh industri platform untuk mendeteksi konten-konten negatif harus terus diperbarui.

Ketiga, memperbarui regulasi. Seluruh pihak yang berelasi di ruang siber diharapkan dapat tersentuh hukum apabila melakukan pelanggaran. Indonesia sendiri sudah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetapi perlu penyempurnaan mengikuti kemajuan yang terjadi.

Keempat, mengingat masyarakat mudah memercayai informasi yang bertebaran, Budi Gunawan menyarankan pembentukan masyarakat kritis. Upaya ini dapat dilakukan melalui edukasi pola pikir yang kritis, tidak menelan mentah-mentah informasi yang didapat.

Pengaruhi dunia

Selain di Indonesia, kondisi ini pun terjadi secara global. Di Amerika Serikat, polarisasi politik yang cukup tajam antara kubu liberal dan kubu konservatif terjadi akibat disinformasi post-truth, terutama pada masa pemilu.

Hal yang sama juga terjadi di Inggris, ditandai oleh pertarungan dua partai dominan, yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif.

Karena itulah dalam Pemilu Amerika Serikat 2016, Barack Obama menggarisbawahi peran media sosial dalam mempercepat terjadinya polarisasi yang tajam antarpihak yang berkompetisi.

Dia mengatakan, media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah, memunculkan teori-teori konspirasi liar, membicarakan kubu oposisi secara negatif tanpa dasar dan bukti yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi yang tajam di antara para kontestan pemilu. Akibatnya, upaya-upaya dialog menjadi sulit sekali dilakukan.

Kondisi yang terjadi di Amerika Serikat ternyata juga dialami Korea Selatan. Pemilu di Korea Selatan berkelindan dengan peningkatan berita palsu pada Pemilihan Presiden 2017.

Ketika itu, presiden berkuasa, Park Geun-hye, dimakzulkan menjelang pemilihan presiden. Jabatan yang kosong diisi Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn. Presiden hasil pemilu diharapkan segera mengisi kekosongan tersebut. Karena itu, pilpres yang sedianya dilaksanakan 20 Desember 2017 dipercepat menjadi 9 Mei 2017.

“Isu pemakzulan menjadi latar belakang kampanye yang panas. Isu itu membuat tema kampanye terpolarisasi antara pendukung dan penentang pemakzulan presiden. Debat capres pun menjadi debat yang tidak terkontrol, sehingga para capres terpancing mengeluarkan beragam berita palsu dan informasi yang menyesatkan,” tulis Budi Gunawan. (*/Golali.id)

Judul Buku                         : Demokrasi di Era Post Truth

Penulis                               : Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono

Penerbit                             : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun Terbit                      :  2021

foto : Kepustakaan Populer Gramedia