Buku berjudul Batavia 1740 – Menyisir Jejak Betawi yang ditulis Windoro Adi, mengajak pembaca untuk menyusuri sejarah Batavia yang disandingkan dengan kondisi hari ini, dimana masih ada beberapa budaya yang masih dijaga hingga hari ini.
“Kisah diawali saat situasi politik di Banten semakin memanas akibat konflik internal Kesultanan Banten. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gubernur Jenderal VOC (Vereenidge Oostindische Compagnie) Jan Piererszoon Coen memindahkan armadanya ke Batavia.
Dengan tenaga orang-orang Cina pimpinan Kapitan Souw Beng Kong, Coen membangun Batavia yang rampung tanggal 30 Mei 1619. Dibantu arsitek Kapitan Phoa Beng Gam (kapitan Cina ketiga setelah kapitan pertama Souw Beng Kong), Coen mengembangkan Batavia. Phoa membuat kanal yang kemudian disebut Kali Molenvliet pada tahun 1648.
Selesai membangun kali, Phoa memecah Kali Ciliwung supaya sebagian melintas masuk kota. Ia juga membuat saluran air dari Tanah Abang sampai masuk kota. Cabang-cabang kali dan saluran air yang ia buat akhirnya bukan hanya menjadi sarana tranportasi air, tetapi juga mengairi banyak lahan yang kemudian dijadikan perkebunan tebu.
Tahun 1710, ada 130 penggilingan tebu milik 84 pengusaha di daerah Ommelanden (daerah di luar benteng kota lama yang terletak di sekitar Kali Besar),” (Halaman 5-7)
Berkembangnya bisnis di Batavia, membuat banyaknya imigran dari Cina Hokkian asal Fukien Cina Selatan masuk ke Batavia ditambah dengan tidak adanya pembatasan imigran dari Gubernur VOC, Adrian Valckenier (1737-1741).
“Jumlah imigran membengkak melebihi lapangan kerja yang ada. Pada saat yang sama, pada akhir 1730, industri gula di ujung kebangkrutan karena merosotnya harga gula dunia. Banyak pabrik gula ditutup. Banyak orang kehilangan pekerjaan sementara imigran Cina terus berdatangan,” (Halaman 8)
Hal ini menyebabkan terjadinya masalah sosial, karena ketidakseimbangan situasi ekonomi khususnya dengan adanya kebijakan dari VOC kepada imigran Cina di Batavia.
“Ketidakpastian dan keputusasaan berjangkit. Struktur sosial Hoakiau (etnis China) yang kala itu terbagi dalam tiga kelas yakni kelas saudagar, tukang, dan jelata menjadi kacau,” (Halaman 9)
Efeknya pecah pemberontakan yang dilakukan Hoakiau kepada VOC. Namun akhirnya dimenangkan VOC, yang membabi buta melakukan tuduhan dan serangan.
“Setelah peristiwa itu, sebagian besar masyarakat Cina terpencar dan tinggal di pinggiran Jakarta. Sebagian besar pindah ke Tangerang. Sebagian lain mengungsi ke Bogor dan Bekasi, sedang sebagian kecil lainnya ke pinggiran Depok (Kampung Cina). Namun, beberapa orang masih bertahan di kantong-kantong pecinan di dalam kota,” (Halaman 12)
Baru setelah diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda, Hoakiau kembali ke Batavia.
“Setelah VOC gulung tikar dan dibubarkan tahun 1799, Pemerintah Hindia Belanda mengawali babak baru penjajahan Belanda, dengan mengundang kembali kaum Hoakiau yang terpencar di pinggiran Jakarta, terutama Tangerang,” (Halaman 17)
Baca juga : Resensi Buku Makanan Tradisional Indonesia Seri 1
Baca juga : Resensi Buku Kuliner Yogyakarta : Pantas Dikenang Sepanjang Masa
Baca juga :Resensi Buku Kuliner Surakarta : Mencipta Rasa Penuh Nuansa
Betawi
Dalam Buku Batavia 1740 : Menyisir Jejak Betawi ini menurut Antropolog Universitas Indonesia , Dokter Yasmine Zaki Shahab,M.A. memperkirakan, etnis Betawi mulai terbentuk tahun 1815-1893. Dasarnya studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dilakukan sejarawan Australia, Lance Castle.
“Penulis berpendapat, proses pembentukan etnis dan budaya Betawi di pinggiran Jakarta terjadi setelah pemberontakan Cina tahun 1740. Proses ini awalnya didominasi budaya Cina karena dikembangkan orang-orang Cina yang pada tahun 1719 jumlahnya mencapai 7.550 jiwa- terbanyak di Batavia. Proses pembentukan awal ini mendapat dukungan material kalangan tuan tanah Cina yang kian kokoh kehadirannya di pinggiran Jakarta.
Dalam perjalanan, perkembangan budaya Betawi yang terdiri atas aneka unsur budaya mendapat ikatan Islam dari orang-orang Arab Hadramaut, Yaman Selatan. Peran mereka kian menonjol setelah menggusur pengaruh orang-orang Gujarat, India, yang mengawali tradisi Islam di Batavia,” (Halaman 19)
Baca juga : Sejarah Lahirnya Paskibraka
Baca juga : Lirik Lagu Indonesia Raya
Baca juga : Kapan Lagu Indonesia Raya Pertama Kali Direkam ?
Masa Kini
Berbagai tradisi dan kuliner dari pencampuran budaya tersebut, sampai saat ini masih dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Betawi. Di antaranya dalam baju pernikahan adat Betawi.
“Mempelai pria memakai busana bernuansa Arab, sedangkan mempelai perempuan bertirai cadar, berhias paku sanggul burung hong, dengan kebaya encim,” (Halaman 18)
Tak hanya soal pakaian, akulturasi ini pun tercemin dalam kuliner yang ada di Betawi. Salah satunya nasi kebuli.
“Karena lekat dengan tradisi Betawi, nasi kebuli akhirnya diakui sebagai masakan Betawi. Di kalangan masyarakat Betawi, selain disajikan pada peringatan Maulid Nabis, nasi kebuli dihidangkan pada acara tradisi mereka.
Pada tahun 60-an, nasi kebuli tidak hanya disajikan di acara-acara tradisi atau pada peringatan Maulid Nabi saja, tetapi mulai merambah ke pasar. Agar bisa bertahan, porsi, rasa, dan penampilannya pun diubah sesuai keinginan pasar yang berkembang.
Di Condet, masih banyak yang menjajakan nasi kebuli Betawi. Maklum, kawasan tersebut kini menjadi kantong peranakan Hadramaut Betawi terbesar. Mereka awalnya tinggal di daerah Kebon Pala di Tanah Abang Jakarta Pusat dan Kebon Nanas di Jatinegara Jakarta Timur. Sebagian lagi berasal dari Pekalongan,” (Halaman 259) (Yatni Setianingsih/Golali.id)
foto : istimewa
Data Buku Batavia 1740 – Menyisir Jejak Betawi
Judul Buku : Batavia 1740 – Menyisir Jejak Betawi
Penulis Buku : Windoro Adi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2013
Tebal : 490 halaman