Kotagede, salah satu Kecamatan di Kota Yogyakarta ini tak hanya terkenal sebagai sentra kerajinan perak. Di tempat ini, saya mengunjungi masjid yang memiliki arsitektur indah. Rumah ibadah umat Islam ini, tidak berada di tepi jalan, jadi saya harus berjalan kaki beberapa meter dari Jalan Mondorakan. Memasuki salah satu gang permukiman penduduk, yang berada di belakang SMU Muhammadiyah 4 Yogyakarta.
Masjid Perak Kotagede namanya, kesan pertama yang saya lihat dari eksterior bangunan masjid ini, megah dan kokoh. Fasad bangunan tempat ibadah umat Islam ini, didominasi dengan dinding tembok bercat putih dan berlapis batu hias.
Serambi depan beratap limasan, berupa dinding berbahan batu hias, yang setengah bagiannya memiliki pilar-pilar tembok bercat putih berfungsi sebagai pagar. Adapula kuncungan yang dilengkapi beberapa anak tangga di kiri dan kanan menuju serambi. Bagian ini memisahkan serambi dengan halaman masjid yang dilapisi batu andesit, di mana halaman juga berfungsi sebagai jalan menuju permukiman warga yang berada di samping masjid.
Meskipun begitu, saat berada di sini saya tetap merasakan kenyamanan dan ketenangan. Pada bagian serambi yang juga digunakan untuk salat, jika bagian dalam masjid penuh, memiliki ornamen kaligrafi yang menghiasi bagian atas pintu menuju ruang utama.
Adapula serambi berlantai dua di bagian utara dan selatan masjid. Lantai dua pada serambi selatan difungsikan sebagai kantor. Sementara lantai dua dari serambi utara, digunakan ruang perpustakaan dan multimedia.
Di dekat serambi utara terdapat tangga dengan dinding tembok sekitarnya, yang bergaya arsitektur indah dan unik. Perpaduan antara warna hitam pada bagian tangga dan putih untuk dindingnya. Selain itu pilar-pilar besar dan berlengkung, mengingatkan saya pada arsitektur Mediterania.Meskipun begitu, tidak meninggalkan ciri khas Jawa berupa ornamen ukiran pada bagian dinding dan penggunaan kayu pada pagar di lantai dua. Sementara, saat berada di dalam masjid saya melihat dominasi langgam arsitektur tradisional Jawa.
Di sini saya menemukan empat soko guru berbentuk bulat berbahan kayu, berhias perak, dan bagian dasarnya bercat hitam. Atap masjid ini berbentuk joglo, sementara langit-langitnya didominasi warna putih bergaris hitam.
Seluruh dinding interior masjid perpaduan antara tembok dan batu hias,yang berornamen pelat perak.
Masjid ini memiliki bentuk mihrab yang sangat sederhana namun elegan, di mana bagian atasnya berbentuk lengkungan dengan bagian depan serta samping kanan dan kirinya, berupa jendela berbahan kayu dengan kaca patri sebagai ciri khas Eropa, yang berhiaskan motif matahari. Adapula dua mimbar berbahan kayu, yang satu berbentuk minimalis, sedangkan mimbar lainnya berkubah, memiliki pagar, dan anak tangga. Kabarnya, mimbar berkubah ini usianya lebih tua dari masjidnya.
Sejarah panjang
Selain memiliki desain bangunan yang khas, masjid ini pun menyimpan kisah sejarah yang penting dalam perkembangan Islam dan Republik Indonesia.
Mengutip informasi dari situs resmi Komariyah Masjid Perak Kotagede yaitu blogkmp.net, rumah ibadah umat Islam ini mulai dibangun pada 1937 sampai 1939, sementara resmi digunakan pada 1940.
Pendirian masjid ini diprakarsai Kyai Amir, H.Mudzakir, dan H. Mashudi. Pembangunan dilakukan secara bergotong-royong, melibatkan berbagai pihak termasuk para pengusaha perak di Kotagede.
Meski begitu, nama perak pada masjid tidak hanya merujuk kawasan tersebut sebagai pusat kerajinan perak, tetapi juga mengambil dari bahasa Arab “Firaq” yaitu terpisah. Pemilihan nama tersebut, sesuai dengan tujuan pembangunan masjid, yakni menjadi tempat pelaksanaan agama Islam sesuai dengan ajaran dalam Alquran. Pasalnya pada saat itu, ajaran Islam di kawasan ini masih berbaur dengan ajaran agama dan kepercayaan lain.
Selain untuk salat dan pengajian, pascakemerdekaan masjid ini menjadi salah satu tempat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Abdul Baqir Zein dalam bukunya Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (1999), halaman masjid ini digunakan untuk pembekalan, latihan, dan pelepasan Laskar Hizbullah/Sabilillah menuju medan perang dalam melawan serdadu Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Selain itu, di masa lalu masjid ini pun menjadi wadah untuk menghancurkan paham komunis yang mulai memengaruhi kehidupan politik dalam negeri. Masjid ini menjadi pusat penggemblengan pemuda Islam, melalui pembekalan wawasan keislaman dan pelatihan bela diri.
Masjid ini pernah mengalami rekontrusi (pembangunan kembali), akibat gempa bumi pada 2006. Pada saat itu, bangunan masjid mengalami kerusakan meskipun tidak sampai luluh lantah. Namun, supaya bangunan masjid lebih aman dan tahan gempa, pihak terkait merekontruksi dengan mempertahankan bentuk asli pada ruang utama, serambi depan, dan kuncungan.
Sementara serambi utara dan selatan, mengalami perubahan dengan penambahan lantai dua. Masjid ini kembali dipergunakan pada 19 Rabi’ul Awwal 1434 H/31 Januari 2013, setelah diresmikan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, MA seperti yang tertera pada prasasti yang berada di salah satu bagian dinding luar masjid.
Akses menuju Masjid Perak
Untuk sampai di kawasan Kotagede, dari Jalan Malioboro Kota Yogyakarts saya menaiki Trans Jogja dari halte Malioboro turun di halte Ngabean untuk berganti bus menuju halte Tegal Gendu.
Selanjutnya saya berjalan kaki, sambil menikmati suasana kesibukan di pusat kerajinan perak dan suasana tempo dulu Kotagede, yang memiliki banyak bangunan berarsitektur kolonial Belanda serta langgam desain tradisional Jawa.(*/Golali.id)