Artikel dari Rifa Rahma Aliya adalah salah satu peserta Pekan Menulis Artikel Sejarah, yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-1 Temu Sejarah.
Seluruh isi artikel murni pandangan dari penulis, isi artikel diluar tanggung jawab redaksi Golali.id
“…apakah maksoed kita bergerak menoembohkan beberapa perkoempoelan? Tida lain mendjoejoeng bangsa dan tanah: membangoenkan bangsa jang oetama. Maka dari itoe
haroeslah kita bersama-sama meoesahakan, selamanja pada kita sendiri, soepaja saudara fehak perempoean menjadi iboe jang bijaksana: sebab tjoema iboe jang bijaksana bakal bias menoeroenkan bangsa satria…”
Kutipan kalimat di atas berasal dari salah satu majalah Poetri Mardika, sebuah organisasi perempuan pertama di Batavia (1912) yang didukung penuh oleh Budi Utomo, pasca lahirnya kebijakan Politik Etis dari pihak kolonial Belanda.
Poetri Mardika bergerak memperjuangkan hak-hak perempuan melalui media massa, sekaligus menyelipkan pula hak-hak kebebasan bernegara dalam majalah–majalah maupun surat kabarnya. Hal ini menunjukkan bahwa sikap semangat juang akan kemerdekaan wanita ternyata telah jauh terjadi, bahkan ketika kemerdekaan negara masih urung diraih.
Masuk akal pula apabila kemasyhuran Poetri Mardika kemudian menginspirasi para wanita di seluruh negeri pada saat itu untuk mendirikan lebih banyak organisasi dengan tujuan mendidik perempuan, agar tidak terpaku pada kebobrokan patriarki yang masih melekat kuat dengan adat istiadat belaka. Contohnya seperti Keoetamaan Istri (1913) oleh Dewi Sartika dan Kartini Fonds (1913) oleh Ny. C. Th. Van Deventer.
Gerakan emansipasi wanita bahkan semakin vokal pada era Orde Lama dengan hadirnya Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang memiliki tiga juta anggota; hasil fusi dari enam organisasi: Gerwis, Rupindo, Persatuan Wanita Sadar, Isteri Sedar, Gerwindo, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia.
Sama seperti Poetri Mardika, Gerwani secara aktif berusaha meningkatkan kesadaran pada wanita atas hak-hak mereka. Yang menjadi pembeda adalah Gerwani melakukan aksi tersebut dengan turun ke lapangan secara langsung, mengedukasi dari mulut ke mulut seraya membagikan pendidikan, hingga terhitung sukses mengurangi angka buta huruf pada masa itu.
Tak sampai di sana, menginjak masa kejayaannya pada jelang 1965, Gerwani secara berani bergabung ke kancah politik dan mendapat dukungan dalam memperjuangkan UU Perkawinan yang baru, serta pengadaan aturan perempuan sebagai kepala desa.
Namun, entah mengapa semakin lama eksistensi gerakan emansipasi wanita secara berkelompok dan terorganisir sebagaimana Gerwani sangat sulit ditemukan.
Yang masih umum ditemukan adalah DWP (Dharma Wanita Persatuan) dan PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga). Namun, DWP merupakan organisasi yang fokusnya memberdayakan istri para pejabat semata. Sementara PKK lebih terfokus pada pembenahan internal ketimbang eksternal di lingkungan sekitar.
Apabila dilakukan pencarian mendalam, memang masih dapat ditemukan beberapa organisasi yang secara keseluruhan beranggotakan wanita. Namun, fokusnya sudah tidak lagi sepenuhnya terarah pada perjuangan emansipasi, melainkan ke kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menjalin kebersamaan serta ruang tukar pendapat saja.
Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan, apakah emansipasi wanita sudah tidak dianggap penting lagi di era ini? Sedangkan kasus pelecehan maupun kekerasan masih kerap mengintai kaum wanita yang dianggap sebagai bagian dari kaum lemah dan harus menundukkan kepala atas kegagahan kaum laki-laki. Perempuan tidak hanya butuh perlindungan dari yayasan-yayasan yang ada, tetapi juga mesti terjun ke lapangan untuk menyadarkan masyarakat akan potensi dalam dirinya yang terus diabaikan, hingga kebanyakan gagal berkembang lantaran tak diberi kesempatan.
Permasalahan-permasalahan serupa misoginis, patriarki, seksis, bias, juga diskriminasi gender masih tetap mengganas dan tak lekang oleh waktu, akan tetapi usaha perlawanannya secara berkelompok justru kian pudar.
“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya.”
—Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, Agustus 1900.
Referensi
Restu, D. (2017) “Gerakan Emansipasi Perempuan di Awal Abad Ke-20: Poetri Mardika 1912-1919”. Diakses pada Januari 20. 2025. https//repositoryuinjktacid/dspace/bitstream/123456789/36767/1/RESTU%20DINIYANTI%20-%20FAH.pdf
Ardanareswari, I. (2019, Oktober 7). Bagaimana nasib Gerwani setelah G30S?. Diakses pada
September 28, 2021. https//tirtoid/bagaimana-nasib-gerwani-setelah-g30s-ejbz.