Kisah Angkie Yudistia bisa menjadi inspirasi bagi siapapun. Terlahir dengan kondisi normal, siapa sangka ketika berusia 10 tahun, harus kehilangan pendengarannya saat pengobatan penyakit malaria.
Salah satu Staf Presiden ini menuturkan selama 10 tahun dirinya merasa terasing dan terpuruk. Baru di usia 20 tahun, Angkie Yudistia menemukan kembali rasa percaya dirinya.
“Titik bangkit usia 20 tahun berarti usia produktif, setelah lulus sekolah mau ke arah mana, cita-citanya, tujuannya. Butuh waktu 10 tahun (menerima) menjadi perempuan dengan kebutuhan khusus.” Cerita Angkie Yudistia di Balai Kota Bandung, Jalan Wastu Kencana Kota Bandung, beberapa waktu lalu.
Kendati sempat down dengan perubahan yang terjadi, beruntung Angkie Yudistia memiliki keluarga yang sangat mendukung. Selain itu, Angkie Yudistia pun sering berkomunikasi dan berinterkasi dengan teman-teman penyandang disabilitas yang ada di Indonesia.
“Saya mengikuti orangtua berpindah-pindah pernah di Jawa Barat dan beberapa Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Maluku (bertemu dengan teman-teman disabilitas). Saya merasa berada diperjuangan yang sama dan sulit banget akses hidup (bagi disabilitas) di Indonesia sehingga ingin melakukan perubahan makanya ingin berkontribusi,” tutur Pendiri Thisabel Enterprise.
“Yang bikin saya bangkit teman-teman disabilitas yang membuat saya bangkit. melihat teman-teman disabilitas kita memiliki masalah yang sama, perjuangan yang sama. kita ingin mengubah nasib secara mental, secara ekonomi sehingga kita bisa mandiri,” imbuh finalis Abang None Jakarta pada 2008 ini.
Menurut lulusan S2 London School of Public Relations (LSPR) Jakarta ini. Dalam menjalani hidup para penyandang disabilitas memiliki berbagai hambatan sehingga perlu dukungan semua pihak.
“Sehingga potensinya dapat dimaksimalkan menjadi SDM (Sumber Daya Manusia) yang unggul. Tetapi bukan berarti diekslusifkan ya,” pungkasnya. (*/Golali.id)