Penjelasan Pakar Unpad tentang Dietilen Glikol dan Etilen Glikol

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Prof. apt. Muchtaridi, PhD, menerangkan, dietilen glikol dan etilen glikol merupakan senyawa pelarut organik dengan rasa manis yang kerap disalahgunakan untuk pelarut obat. Kelarutan dan rasa manisnya tersebut kerap disalahgunakan untuk mengganti propilen glikol atau polietiken glikol dalam obat cair.

“Masalahnya, dietilen glikol dan etilen mengalami oksidasi oleh enzim,” kata Prof. Muchtaridi dikutip dari website Unpad, Sabtu 22 Oktober 2022.

Lebih lanjut, ia menjelaskan saat masuk ke tubuh, senyawa dietilen glikol dan etilen glikol mengalami oksidasi oleh enzim sehingga menjadi glikol aldehid kemudian kembali dioksidasi menjadi asam glikol oksalat dan kemudian membentuk lagi menjadi asam oksalat.

Asam oksalat inilah yang memicu membentuk batu ginjal. Prof. Muchtaridi memaparkan, asam oksalat jika sudah mengkristal akan berbentuk seperti jarum tajam.

 “Asam oksalat kelarutannya kecil, kalau ketemu kalsium akan terbetuk garam yang sukar larut air dan larinya akan ke organ seperti empedu dan ginjal. Jika lari ke ginjal akan jadi batu ginjal. Kristalnya tajam akan mencederai ginjal,” terangnya.

Apabila kondisi ini terjadi pada anak-anak yang notabene memiliki ukuran ginjal lebih kecil, dampak yang ditimbulkan akan parah. Tidak hanya memapar di ginjal, efeknya juga bisa lari ke jantung dan juga bisa memicu kematian yang cepat.

“Yang paling berbahaya ketika kondisi ini terjadi di negara-negara kering. Kondisi dehidrasi akan mempercepat pembentukan asam oksalatnya. Contohnya seperti di Gambia,” imbuhnya.

Karena efek sampingnya yang berbahaya, dietilen glikol dan etilen glikol sebenarnya sudah dilarang ketat penggunaannya dalam obat oleh Food and Drugs Administration (FDA) sejak 1938.

Namun, pada 1998, India mencatat ada kasus sedikitnya 150 anak meninggal dengan penyakit yang sama dalam lima tahun terakhir. Setelah diinvestigasi, 26 kasus dinyatakan positif karena dietilen glikol yang terkandung dalam obat flu.

Ia mengungkap, oknum produsen farmasi “nakal” masih menggunakan dua senyawa ini karena mudah diproduksi dan murah dibandingkan pelarut-pelarut lainnya. (Yatni Setianingsih/Golali.id)

Foto : unpad.ac.id