Metamorfosa Hani Amalia Hendrajatin Dalam Dunia Seni

Sampai kini, masih ada stigma negatif tentang penari baik dari segi moral maupun masa depan hidup. Inilah yang ingin dikikis seniwati profesional asal Bogor, Hani Amalia Hendrajatin. Melalui berbagai karya yang membuka mata masyarakat, tentang seni yang seutuhnya.

Hani mengisahkan stigma ini telah ia rasakan sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Saat itu Hani yang sejak Sekolah Dasar (SD) menggeluti dunia seni karawitan merasakan minder untuk terus berkarya.

“Saya itu dari usia TK (Taman Kanak-kanak) udah banci tampil, misalkan jalan sama ibu ke Mall, terus ada acara hadiahnya cokelat, tapi harus nyanyi dulu. Saya tanpa disuruh langsung maju buat nyanyi,” cerita Hani berbinar saat berbincang dengan Golali.id.

Begitupun saat duduk di bangku SD, saat guru menyuruh menyanyi, Hani paling rajin mempertunjukan kebolehannya dalam bernanyi. Kesenangannya bernyanyi tidak sia-sia, saat masih duduk di kelas 1 SD, Hani mengikuti lomba menyanyi daerah khas Sunda yaitu pupuh.

Pertama kali mengikuti perlombaan ini, tak tanggung-tanggung Hani mengikuti lomba pupuh tingkat Kabupaten Bogor yang pesertanya dari seluruh SD di Kabupaten Bogor.

“Saya dapat juara 2, banyak yang enggak percaya juga karena peserta yang lain sudah duduk di kelas 5 sementara saya masih kelas 1 SD,” sambung Hani.

Atas kesungguhannya dalam bernyanyi, Hani sempat beberapa kali ditawari produser untuk rekaman, tetapi karena masih SD, ibunya melarang Hani untuk masuk dapur rekaman. Meskipun begitu, Hani tetap rajin untuk mengasah kemampuan dalam bidang seni suara.

“Ibu saya sebenarnya open minded banget, dia sangat mendukung semua pilihan saya, baik secara moril maupun materiil. Mungkin karena dulu saya baru SD,” beber Hani.

Sempat Mandeg

Hani selama ini menggeluti semua jenis nyanyian, hanya saja lebih banyak mengikuti kompetesi seni sunda. Sehingga lebih dikenal dengan penyanyi tradisional Sunda.

Sayangnya, memasuki SMP, Hani enggan untuk melanjutkan untuk mengembangkan suara merdunya.

“Entah mungkin karena memasuki masa pubertas soalnya sejak SMP sampai SMA kelas 1, saya kehilangan kepercayaan diri untuk tampil di panggung,” ungkap perempuan kelahiran 30 Maret 1989 ini.

Selain itu, teman-teman sebanyanya mencap Hani hanya fokus dalam seni tradisi yakni ngawih (menyanyikan lagu Sunda), padahal dia bisa juga menyanyi lagu-lagu kekinian dan menjadi vokalis di grup band. Namun sayangnya kesempatan itu tidak pernah dia dapatkan.

“Mereka suka bilang, Hani mah bisanya ngawih aja. Itu bikin saya enggak PD (percaya diri). Apalagi sempat lihat teman yang nari tradisi, sama yang lain malah dilemparin duit recehan, membuat saya semakin degdegan untuk tampil,” tutur Hani.

Kembali Percaya Diri

Selama menjadi murid putih biru dan putih abu-abu, selain sekolah, Hani mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang tidak ada hubungannya dengan seni, yaitu Paskibra. Namun saat di SMA, Hani kembali bertemu dengan pelajaran kesenian yang mengharuskan dirinya menunjukkan bakatnya, kali ini dalam seni tari.

Hani menari tarian barat atau dancing, meskipun dengan rasa degdegan, namun ini menjadi langkah dirinya untuk kembali mendapatkan rasa percaya diri yang telah beberapa tahun hilang.

“Guru saya saat itu namanya Bu Lita, beliau sangat mengapresiasi setelah saya menari. Saat SMA saya enggak ada centil-centilnya gitu, karena saya merasa minder dengan penampilan saya,” urai Hani.

Pada tes selanjutnya, gurunya meminta semua siswa untuk menarikan tarian tradisional. Untuk itu sebelum tampil Hani mengikuti kursus singkat di Sanggar Bukit Kencana. Di Sanggar yang saat ini sudah tidak ada, Hani belajar tari Bali.

“Saya merasa happy membawakan tarian ini, kayak menikmatinya. Dan Bu Lita tahu itu, hingga pas ada perpisahan Bu Lita bilang Neng ikutan ya, acara itu ada upacara adat dan butuh penari. Kata beliau, kemampuan nari saya lebih dari yang lain. Saya sebenernya masih enggak PD, karena saya lebih fokus kepada kekurangan saya. Tetapi akhirnya ikut juga,” kenang Hani . (*/Golali.id)

Foto : Dok pribadi Hani Amalia Hendrajatin