Tiga mahasiswa TPB ITB dari SITH-R yang tergabung dalam Tim Piwpiw mengembangkan cara mengubah sampah plastik menjadi listrik. Hal ini, tercetus dari keresahan tentang masalah sampah plastik di Indonesia dan keterbatasan suplai listrik di beberapa daerah, Tim Piwpiw berusaha mengkorelasikan kedua masalah ini dengan sistem Waste to Energy (WTE).
Tim Piwpiw ini terdiri dari Earron Keane Woen (19822170), Christopher Abigail Surya (19822176), dan Catherine Nathania Christianto (19822034). Ketiganya mendapatkan bimbingan dari Dr. rer. nat. Fifi Fitriyah Masduki, S.Si., M.Sc., dan Wardono Niloperbowo, Ph.D.,
Ide ini, mereka ikutkan dalam kompetisi paper tentang pengadaan energi listrik dari sampah atau WTE. Sistem WTE yang mereka usulkan memanfaatkan pembakaran sampah plastik dengan sistem tertutup sehingga minim polusi.
Panas hasil pembakaran kemudian akan digunakan untuk memanaskan air, sehingga uap air yang terbentuk dapat menggerakkan turbin generator pembangkit listrik. Sisa asap pembakaran juga dapat dikondensasikan ulang untuk diubah menjadi biofuel dan produk sampingan lainnya.
“Menurut kami, sistem WTE ini sangat cocok diterapkan di Indonesia karena berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 Indonesia sendiri sudah menjadi penghasil sampah plastik kedua terbesar setelah China. Oleh karena itu sistem WTE ini tidak akan kehabisan raw materials, melainkan akan mengurangi sampah berbahaya yang sulit terurai, membantu mengatasi pemanasan global, dan menaikkan ekonomi negara,” kata Christopher dikutip dari website ITB, Selasa 13 Desember 2022.
Ketiganya menganalisis potensi besaran energi listrik yang mampu dihasilkan dari sistem WTE. Hasilnya kemudian digunakan untuk mengkalkulasikan pengurangan subsidi pemerintah untuk penyediaan listrik bagi masyarakat.
PLN
Mereka pun mengusulkan kerja sama sektor privat yang menggunakan WTE dengan PLN, agar penyediaan listrik lebih efektif dan efisien. Selain itu, produk sampingan sistem WTE juga dinilai sebagai potensi ekonomi yang menjanjikan dalam perspektif pasar nasional.
Terkait kelayakan, menurut Tim Piwpiw sistem ini sudah layak untuk diterapkan di Indonesia karena hingga saat ini bahan baku sampah plastik sangat melimpah dan sistem yang dipakai tidak terlalu kompleks. Beberapa negara yang telah berhasil mengadopsi sistem ini lebih dulu antara lain Singapura, Swedia, dan Nigeria.
“Untuk kelayakan sebenarnya layak karena teknologi yang dibutuhkan juga sudah ada yaitu PLTSa. Hanya saja perlu dimodifikasi menjadi sistem tertutup dan ditambah mesin pyrolysis. Uap turbin generator juga menghasilkan produk-produk berguna dengan net zero carbon emission,” ungkap Earron.
Lebih lanjut, mereka mengatakan sistem WTE masih menyimpan tantangan besar untuk menuju implementasinya di Indonesia. Tantangan struktural yang menyangkut kesadaran dan perubahan pola pikir masyarakat membutuhkan waktu yang tidak singkat. Belum lagi masalah modal yang seringkali dimiliki swasta sehingga butuh kreativitas dan ketekunan untuk meyakinkan mereka agar mau berinvestasi.
“Kalau sistem WTE ini tantangannya berupa modal yang dibutuhkan serta kerja sama pemerintah, masyarakat, dan swasta. Selain itu, yang perlu diperbaiki mulai sekarang adalah perilaku masyarakat soal kedisiplinan mereka dalam memilah sampah. Karena masing-masing jenis sampah menghasilkan produk sampingan yang berbeda ketika dibakar,” tegasnya. (Yatni Setianingsih/Golali.id)
Foto : Humas ITB