Artikel dari Pocut Alya Ratu Inara Pandu Adithama Wisnuputra adalah salah satu peserta Pekan Menulis Artikel Sejarah, yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-1 Temu Sejarah.
Seluruh isi artikel murni pandangan dari penulis, isi artikel diluar tanggung jawab redaksi Golali.id
Di ujung delta yang kini tertelan oleh laut, sebuah peradaban purba pernah berdiri
megah. Namanya masyhur terdengar hingga ke ujung negeri, sebagai kerajaan pertama yang
menjadi saksi awal peradaban Islam di Nusantara. Bukan Kerajaan Samudra Pasai, bukan pula
Kerajaan Perèulak. Lamuri, sebuah nama yang sudah hampir tidak terdengar berabad-abad
lamanya. Catatan Arab menyebutnya dengan istilah Ramini, Ramni, Lamuri, atau Lameri (851
M), sedangkan catatan Tiongkok menyebutnya Lan-li, Lanwuli, dan Nanpoli (960 M) (Said,
1981).
Selayaknya kerajaan pada masanya, Lamuri pernah beberapa kali berada di bawah
pengaruh kekuasaan lain. Pada tahun 943 M, Kerajaan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan
Saqofi (Sriwijaya) dengan tetap mempertahankan statusnya sebagai kerajaan Islam yang
berdaulat (Puteh, 2018). Keberadaan kerajaan Lamuri semakin dipertegas melalui prasasti di
Tajore (India Selatan) 1030 M yang diabadikan oleh Raja Rajendra Cola I. Prasasti yang
mengisahkan ekspedisi penaklukan Cola turut menyebut Llamurideçam (Lamuri) sebagai
daerah taklukan pada tahun 1023-1024 M: ‘…Llamurideçam yang telah menghujamkan
kehebatan pasukannya dan dapat dipatahkan dalam pertempuran mati-matian’. Kemudian,
pada tahun 1292 M Marcopolo menyebut bahwa Lamuri merupakan kerajaan yang tunduk
dibawah kekuasaan Kekaisaran Mongol era Kubilai Khan. Selain itu, Mpu Prapanca dalam
karya terkenalnya Kakawin Nagarakertagama menyebutkan bahwa Lamuri pernah berada di
bawah kekuasaan Majapahit (Said, 1981). Catatan-catatan ini menunjukkan bahwa sejak abad
ke-9 M, Lamuri telah memiliki sistem pemerintahan dan militer yang terorganisasi dengan baik
sebelum munculnya kerajaan lain.
Stabilitas tersebut turut didukung oleh berbagai faktor, salah satunya faktor ekonomi.
Pada masa itu, Lamuri telah menjadi salah satu pusat perdagangan yang cukup berpengaruh di
Asia Tenggara. Lokasinya yang strategis berhadapan dengan Selat Malaka menjadikannya
bagian dari lingkaran perdagangan Internasional (Asnan, 2007). Ibn Khurdabbah (851 M)
mencatat bahwa Rami (Lamuri) terkenal memperdagangkan berbagai komoditas, seperti
badak, kemenyan, bambu, gula, kelapa, beras, dan kayu cendana. Selain itu, Abu Zayn Hasan
(916 M) menyebutkan bahwa di ujung Pulau Sumatra terdapat dua kawasan terkenal: Rami
sebagai penghasil emas dan Fanshur sebagai penghasil kapur barus (Said, 1981)
Beberapa literatur sejarah mencatat bahwa Kerajaan Lamuri merupakan kerajaan Hindu
di Aceh yang sudah eksis sejak abad ke-4 M, sejajar dengan keberadaan Kerajaan Kutai
Martadipura di Kalimantan Timur yang juga diperkirakan mulai berkembang pada abad yang
sama. Namun, berbeda dengan Kutai yang tetap dikenal sebagai kerajaan Hindu, Lamuri
mengalami transformasi besar dengan menjadi wilayah kesultanan Islam pada abad ke-9 M
dan bertahan hingga abad ke-15 M (Rosaguna & Syai, 2016). Sebuah historiografi Hikayat
Melayu menyebutkan bahwa Kesultanan Lamiri (Lamuri) adalah wilayah kedua di Pulau
Sumatera yang memeluk Islam melalui dakwah Syaikh Ismail, sebelum akhirnya beliau
mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai (Puteh, 2018). Dalam catatan perjalanannya, Cheng
Ho juga menyebut Lambri (Lamuri) sebagai salah satu tempat dari 30 negara yang
disinggahinya. ‘Di pantai Lambri terdapat lebih dari seribu kepala keluarga yang seluruhnya
adalah muslim. Istana Raja dan rumah penduduk merupakan rumah panggung yang terbuat
dari kayu/papan dengan bagian bawah dijadikan kandang ternak’ (Kong & Wijayakusuma,
2000).
Kepopuleran Lamuri menarik perhatian para ahli, termasuk W. P. Groeneveldt, seorang
ahli sejarah Belanda yang menyatakan bahwa Lambry (Lamuri) kemungkinan besar terletak di
Lamreh, sebuah desa di Kabupaten Aceh Besar saat ini. Pendapat ini didukung oleh berbagai
peninggalan arkeologis megah yang ditemukan di sepanjang daratan sempit Lamreh, seperti
Benteng Indrapatra, Benteng Inong Balee, Benteng Sultan Iskandar Muda, serta kompleks
pemakaman dan jejak hunian yang ditandai dengan sebaran keramik. Transformasi Lamuri dari
kerajaan Hindu menjadi pusat peradaban Islam menunjukkan dinamika sejarah yang unik.
Perubahan ini tercermin dalam temuan arkeologis di Lamreh, salah satunya adalah nisan tipe
Plak Plièng yang menjadi penanda bahwa komunitas Muslim telah hidup di daerah tersebut
sebelum berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Nisan tipe ini merupakan jenis peralihan dari
tradisi pra-Islam menuju Islam. Bentuknya sederhana, tetapi mulai dihiasi dengan relief dan
inskripsi kaligrafi. Menariknya, bentuk dasar nisan ini masih mengacu pada elemen-elemen
tradisi megalitik dan Hindu, seperti phallus/lingga, meru, serta menhir. Motif-motif ini
menunjukkan perpaduan budaya lokal dan pengaruh luar, menggambarkan proses adaptasi
yang terjadi seiring masuknya Islam ke Nusantara.
Salah satu nisan tersebut adalah milik Sultan Sulaiman yang ditemukan di dalam
Benteng Kuta Lubuk yang bertuliskan assulthan Sulaiman bin Abdullah bin al Basyir
Tsamaniata wa sita mi’ah 680 H (1211 M) serta nisan-nisan serupa di bukit dekat Benteng
Inong Balee. Penanggalan nisan sultan tersebut menunjukkan bahwa usia nisan ini lebih tua
dibandingkan dengan nisan Sultan Malik as-Saleh di Samudera Pasai yang berangka tahun 696
H (1297 M) (Oetomo, n.d.). Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa Islam telah hadir di Lamuri
jauh sebelum berdirinya Kerajaan Samudra Pasai.
Lantas, dengan segala kejayaan dan catatan sejarahnya, mengapa seolah nama kerajaan
ini tidak pernah terdengar lagi? Penelitian geoarkeologi pada tahun 2010 dan 2011 di Lamreh
mengungkapkan bahwa telah terjadi tsunami purba sekitar tahun 1394 dan tahun 1450 yang
telah menghancurkan permukiman besar di wilayah tersebut. Meskipun masyarakat Lamuri
berhasil bangkit dari reruntuhan dan membangun kembali peradaban mereka, bencana alam ini
hanyalah bagian awal dari kemunduran kerajaan. Penemuan material keramik dan batu nisan
di Lamuri menunjukkan adanya penghentian aktivitas secara mendadak sekitar tahun 1550 M,
yang diduga kuat disebabkan oleh ekspansi Kerajaan Pedir (Pidie). Hal ini diperparah dengan
adanya pendangkalan muara sungai akibat tsunami yang menghambat jalur pelayaran dan
perdagangan, sehingga pusat pemerintahan Lamuri terpaksa dipindahkan ke daerah Mahkota
Alam, yang selanjutnya dikenal dengan nama Kerajaan Mahkota Alam. Istana Lamuri sendiri
berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh), tepatnya di Gampong Pande
dengan nama Kandang Aceh.
Di kawasan yang sama juga terdapat Kerajaan Aceh yang berpusat di Darud Donya yang kemudian dipindahkan ke Darul Kamal, sekitar 10 km dari pantai. Peperangan antar dua kerajaan yang dipisahkan oleh Krueng Aceh ini pun sering terjadi yang pada akhirnya dimenangkan oleh pihak Kerajaan Mahkota Alam pada masa Sultan Syamsu Syah.
Hingga pada tahun 1516, Sultan Ali Mughayat Syah dinobatkan sebagai raja untuk menggantikan ayahnya dan Kerajaan dipindahkan ke Darud Donya (Banda Aceh) yang diberi nama Kerajaan Aceh Darussalam (Ahmad, 2018; Daly et al., 2019).
Meski kisah Lamuri nyaris terlupakan, jejak peradaban ini tetap hidup di balik reruntuhan dan peninggalan yang tersisa. Ia adalah pengingat awal mula peradaban Islam di Nusantara, kerajaan yang tak henti bertahan meski berkali-kali ditaklukkan. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa Lamuri adalah peradaban Islam pertama, namun keagungannya sering kali luput dari perhatian. Kerajaan Lamuri bukan sekadar kerajaan yang hilang. Ia adalah napas pertama yang mengantarkan kita pada pemahaman dan penghargaan terhadap akar budaya.
Meskipun tubuhnya telah tenggelam, semangat dan warisan yang ditinggalkannya tetap hidup
dalam setiap jejak sejarah yang kita temukan. Kini, saatnya kita mendengarkan kembali
kisahnya, dan merayakan jejak-jejak yang terpendam dalam sejarah kita.
Referensi
Ahmad, Z., 2018. Aceh: Zaman Prasejarah & Zaman Kuno, Cetakan ketiga. ed. Yayasan PeNA
Banda Aceh, Divisi Penerbitan, Banda Aceh.
Asnan, G., 2007. Dunia maritim Pantai Barat Sumatera. Ombak, Yogyakarta.
Daly, P.T., McKinnon, E.E., Feener, R.M., Yew Seng, T., Ardiansyah, Parnell, A., Nizamuddin,
Ismail, N., Sieh, K., Majewski, J., 2019. The Historic Trading Port of Lamri on the
North Sumatran Coast. befeo 105, 115–144. https://doi.org/10.3406/befeo.2019.6298
Kong, Y., Wijayakusuma, H., 2000. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah
di Nusantara, Ed. 1. ed. Pustaka Populer Obor, Jakarta.
Oetomo, R.W., n.d. Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai. Balai Arkeologi Medan. URL
https://balarmedan.wordpress.com/2008/06/18/lamuri-telah-islam-sebelum-pasai/
Puteh, T., 2018. Sejarah Kerajaan Lamuri. Tengkuputeh. URL
https://tengkuputeh.com/2018/06/24/sejarah-kerajaan-lamuri/
Rosaguna, R.I., Syai, A., 2016. Bentuk Dan Motif Nisan Plak-Plieng Kerajaan Lamuri Aceh 1.
Said, M., 1981. Aceh Sepanjang Abad. PT. Percetakan dan Penerbitan Medan, Medan.