Artikel dari Muhammad Syafiq Rizqullah adalah salah satu peserta Pekan Menulis Artikel Sejarah, yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-1 Temu Sejarah.
Seluruh isi artikel murni pandangan dari penulis, isi artikel diluar tanggung jawab redaksi Golali.id
Indramayu adalah daerah pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura) yang kaya akan budaya. Meskipun terletak di Jawa Barat yang terkenal dengan dominasi suku Sunda, mayoritas penduduk Indramayu justru berasal dari suku Jawa. Selain dikenal sebagai penghasil mangga dan lumbung padi, daerah ini juga memiliki kekayaan seni tekstil berupa batik dan tenun gedogan. Sayangnya, keberadaan tenun gedogan semakin memudar, meskipun kain tradisional ini menyimpan sejarah dan nilai budaya yang sangat berharga.
Keunikan di Balik Setiap Helai Kain
Tenun gedogan merupakan salah satu karya seni perajin lokal yang dibuat menggunakan alat tradisional bernama “gedogan”. Proses pembuatannya sepenuhnya manual, mencerminkan dedikasi dan kearifan lokal masyarakat Indramayu, terutama di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat. Teknik tradisional ini memerlukan keterampilan tinggi, mulai dari mempersiapkan benang hingga proses menenun yang bisa memakan waktu berhari-hari.
Setiap motif kain memiliki filosofi mendalam. Misalnya, motif Babaran melambangkan rasa syukur pasca melahirkan, sedangkan motif Udan Mas Prambutan sering digunakan sebagai kain penutup jenazah, simbol doa dan keberkahan bagi arwah. Warna-warna cerah seperti merah, kuning, dan hijau menjadi ciri khas kain ini, memberikan sentuhan estetika sekaligus makna budaya. Selain itu, motif seperti Poléng Méntisa dan Kluwungan juga menyimpan nilai-nilai simbolis, mencerminkan kehidupan dan warisan leluhur.
Perempuan Hebat Dibalik Tenun Gedogan
Dibalik keindahan tenun gedogan, ada sosok perempuan yang berperan besar dalam melestarikan tradisi ini. Salah satunya adalah Ibu Sunarih, seorang perajin berusia 66 tahun dari Desa Juntikebon. Sejak usia 10 tahun, ia telah menenun kain gedogan bersama tetangganya. Dulu, hampir setiap rumah di desanya memiliki alat tenun, dan menenun adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang penuh kebersamaan.Membuat selembar kain tenun gedogan membutuhkan waktu empat hingga lima hari, tergantung pada kerumitan motifnya.
Meskipun proses ini memakan waktu, Ibu Sunasih tetap setia melestarikan tradisi ini. Saat ini, hanya tersisa dua perajin tenun gedogan di desanya, yaitu dirinya dan Ibu Sartiwen, yang juga sudah lanjut usia. Banyak perajin lainnya telah meninggal dunia tanpa meninggalkan penerus. Hal ini membuat Ibu Sunarih
khawatir akan punahnya tradisi tenun gedogan di masa depan. Meskipun masih ada pesanan kain tenun gedogan, jumlahnya tidak sebanyak dulu. Pesanan pernah datang dari Indramayu, Jakarta, hingga Bandung, tetapi ada masa-masa ketika ia tidak menerima pesanan sama sekali selama berbulan-bulan.
Namun, Ibu Sunarih tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk menjaga keberlangsungan tradisi ini. Ia berharap generasi muda tertarik mempelajari seni tenun gedogan, meskipun hanya dengan mengunjungi tempatnya untuk mengenal proses pembuatannya.
Perjuangan Melawan Arus Modernisasi
Keberadaan tenun gedogan semakin terpinggirkan terutama di tengah derasnya arus modernisasi sekarang ini banyak perajin kini menjadikan menenun sebagai pekerjaan sampingan karena sebagian besar juga bekerja sebagai petani. Waktu yang terbatas untuk menenun menyebabkan produksi kain menurun secara signifikan. Regenerasi pun menjadi tantangan besar, karena generasi muda kurang berminat mempelajari teknik tradisional ini.
Minimnya promosi dan dukungan pasar turut membuat tenun gedogan kurang dikenal di luar komunitas lokal. Bahkan, banyak masyarakat Indramayu sendiri yang belum sepenuhnya menyadari nilai historis dan budaya dari kain ini. Ditambah lagi, produk tekstil modern yang lebih murah dan mudah diakses semakin mempersempit ruang bagi tenun gedogan untuk bertahan. Namun, Ibu Sunarih tidak menyerah dengan hal itu. Ia telah berkolaborasi dengan beberapa desainer muda untuk menciptakan produk yang relevan dengan tren masa kini tanpa menghilangkan keaslian motifnya. Kolaborasi ini memberikan kehidupan baru bagi tenun gedogan sekaligus membuka peluang pasar yang lebih luas.
Menyalakan Harapan Baru
Berbagai upaya terus dilakukan untuk melestarikan tenun gedogan. Pelatihan bagi generasi muda, promosi melalui pameran budaya, dan kolaborasi dengan desainer modern menjadi langkah penting untuk mengenalkan kain ini ke pasar yang lebih luas. Beberapa desainer bahkan telah menggunakan kain tenun gedogan dalam koleksi busana mereka yang dipamerkan di ajang nasional dan internasional.
Pemerintah dan lembaga budaya lokal yang juga mulai mendokumentasikan proses pembuatan tenun gedogan sebagai warisan budaya tak benda. Program pelatihan untuk anak-anak muda menjadi salah satu cara efektif menanamkan rasa cinta terhadap budaya lokal sejak dini. Komunitas lokal dan LSM juga turut berperan dalam menggalang dana serta memfasilitasi pelatihan bagi para perajin agar mereka dapat meningkatkan kualitas produksi sekaligus memperluas jangkauan pemasaran mereka.
Lebih dari Sekedar Kain
Dibalik keindahan motifnya, tenun gedogan menyimpan cerita tentang tradisi, perjuangan, dan filosofi kehidupan masyarakat Indramayu. Kain ini mengajarkan nilai-nilai seperti rasa syukur, penghormatan kepada leluhur, dan penghargaan terhadap siklus kehidupan.
Melestarikan warisan seperti tenun gedogan adalah tantangan besar sekaligus peluang untuk memperkuat identitas budaya lokal. Pelestarian kain ini bukan hanya tanggung jawab perajin, tetapi juga masyarakat, pemerintah, dan dunia pendidikan. Mengintegrasikan nilai-nilai budaya ke dalam kurikulum sekolah, misalnya melalui muatan lokal, dapat menjadi cara efektif memperkenalkannya pada generasi muda.
Kisah Ibu Sunarih mengingatkan kita bahwa melestarikan tradisi sering kali dimulai dari langkah kecil tetapi berdampak besar. Ia adalah bukti nyata bahwa perempuan memiliki peran penting dalam menjaga identitas budaya. Dengan mengenal dan memahami tenun gedogan, kita tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga menghidupkan kembali semangat kebersamaan dan rasa bangga terhadap kekayaan tradisi lokal.
Mari kita bersama-sama menjaga warisan budaya Indonesia. Mulailah dari diri sendiri dengan mengenal, menyukai, dan mencintai budaya-budaya yang ada di negeri ini. Budaya adalah identitas bangsa yang tidak hanya perlu dijaga tetapi juga wajib dilestarikan. Dengan mendukung penjaga budaya lokal seperti Ibu Sunarih, kita turut menjaga kekayaan Indonesia agar tetap hidup dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Referensi
Patanjala, R. I. T. (2010). Tenun gedogan Dermayon. Patanjala, 2(1), 35–47.
Mustika, D., Dwimarwati, R., & Heriyawati, Y. (2021). Mitos tenun gedogan Indramayu sebagai sistem kebudayaan masyarakat Juntikebon. Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya, 6(1).
Rahman, H. (2021, Maret 21). Kisah Sunarih, di usia senja masih setia menenun kain gedogan, tak mau kain khas Indramayu ini punah. Tribun Jabar. Diakses dari https://jabar.tribunnews.com