Kota Yogyakarta selalu memiliki ragam cerita, yang tersimpan di setiap bagiannya. Kota yang terkenal dengan kuliner gudeg ini, tak hanya memiliki aneka kearifan lokal yang masih terjaga.

Ada banyak kisah sejarah yang menjadi cikal balak semakin kuatnya bangsa ini, salah satunya yang berada di ikon Kota Gudeg yakni kawasan Malioboro. Tepatnya di ujung selatan dari Jalan Malioboro atau di sekitaran tugu nol kilometer Kota Yogyakarta, yaitu Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949.

Ya, melihat monumen ini memori saya langsung terlempar akan kisah sejarah bagaimana rakyat sipil dan militer bersatu, untuk melakukan serangan kepada tentara Belanda yang telah melakukan agresi militer Belanda II karena tetap tidak mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Militer Belanda sendiri melakukan serangan ke kawasan Yogyakarta pada akhir 1948 yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda II , karena pada saat itu Kota Yogyakarta menjadi ibu kota NKRI. Pasalnya Jakarta yang sejak awal kemerdekaan dijadikan ibu kota negara telah dikuasai Belanda. Sehingga dengan kata lain, latar belakang serangan umum 1 Maret 1949 terhadap militer Belanda di Yogyakarta sebagai serangan balasan.

Peristiwa ini berlangsung selama 6 jam, dari pukul 06.00 sampai dengan 12.00 WIB yang melibatkan rakyat dan TNI. Hal inilah yang tergambar dalam relief yang berada di monumen yang diresmikan pada 1 Maret 1973 ini.

Selain relief, pada monumen hasil karya seniman Saptoto ini terdapat 5 patung yang terdiri dari 3 personel TNI yang salah satu di antaranya membawa bendera merah putih dan senapan, sementara 2 personel lainnya membawa senapan. Sementara 2 patung lainnya menggambarkan rakyat sipil yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang juga membawa perlengkapan untuk menyerang militer Belanda. Sebagai Kota Budaya, dalam monumen ini pun tak lepas dari unsur budaya yaitu dengan adanya gunungan (sebagai bagian dari perlengkapan pertunjukan wayang kulit) yang menjadi latar belakang patung.

Tips :

– Mengunjungi monumen pada pagi hari atau sore hari di musim kemarau, karena monumen yang berada di ruang terbuka jika dikunjungi pada siang hari kurang nyaman. Suhu di Yogyakarta pada siang hari relatif panas.

– Kita hanya bisa menikmati monumen dari luar pagar, bisa sambil duduk di bangku yang berada di sekitaran monumen. (*/Golali.id)