Artikel opini dari Pengamat UMKM Riyan Wahyudi, lulusan Program Magister Manajemen Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)
Seluruh isi artikel murni pandangan dari penulis, isi artikel diluar tanggung jawab redaksi Golali.id
Ancaman bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan tsunami, yang kerap melanda Indonesia sebagai negara yang terletak di Cincin Api Pasifik, menjadi tantangan serius bagi ketahanan UMKM. Di tengah tantangan bencana yang multidimensi, UMKM harus mampu beradaptasi dengan segera dalam memainkan peranan penting sebagai unit usaha yang tahan banting.
Di sisi lain, era transformasi digital membuka peluang baru untuk memperkuat daya tahan sektor ini. Mengapa topik ini penting? Karena UMKM tidak hanya berperan dalam perekonomian, tetapi juga dalam stabilitas sosial, sehingga strategi mitigasi bencana dan adopsi teknologi digital menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan usaha di tengah ketidakpastian.
Ancaman Bencana terhadap UMKM: Data Tiga Tahun Terakhir
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, pada 2022 terjadi 3.544 kejadian bencana yang didominasi banjir (1.419 kasus) dan tanah longsor (617 kasus).
Pada 2023, angka ini sedikit menurun menjadi 3.341 kejadian, tetapi dampaknya tetap signifikan, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp22,1 triliun. Sementara itu, hingga Oktober 2024, BNPB melaporkan 2.890 kejadian bencana, dengan banjir dan cuaca ekstrem masih menjadi ancaman utama.
Dampak bencana terhadap UMKM sangat nyata. Studi INDEF (2023) menunjukkan bahwa 65 persen UMKM di wilayah rawan bencana mengalami penurunan pendapatan hingga 50 persen pasca-bencana, terutama akibat kerusakan infrastruktur, terganggunya rantai pasok, dan hilangnya pelanggan. Misalnya, banjir besar di Kalimantan Selatan pada 2021 memaksa ribuan UMKM menghentikan operasional sementara, dengan kerugian mencapai Rp1,2 triliun. Data ini menegaskan bahwa ketahanan UMKM tidak hanya bergantung pada modal atau pasar, tetapi juga kemampuan mereka menghadapi risiko bencana.
Strategi Mitigasi Bencana untuk UMKM
Mitigasi bencana adalah langkah proaktif untuk mengurangi risiko dan dampak buruk. Bagi UMKM, strategi ini dapat diterapkan dalam beberapa tahap efektif. Pertama, pemetaan risiko. UMKM perlu memahami potensi bencana di wilayah operasional mereka. Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) dari BNPB dapat menjadi acuan untuk menentukan lokasi usaha yang lebih aman atau menyiapkan rencana darurat.
Kedua, penguatan infrastruktur. Bangunan tahan bencana, seperti desain anti-gempa atau elevasi lantai untuk mencegah banjir, menjadi investasi jangka panjang. Meski membutuhkan biaya awal, langkah ini terbukti efektif. Contohnya, UMKM di Lombok yang menerapkan bangunan tahan gempa pasca-gempa 2018 berhasil meminimalkan kerugian saat gempa susulan terjadi.
Ketiga, asuransi usaha. Data Kementerian Keuangan (2023) menunjukkan hanya 15 persen UMKM di Indonesia yang memiliki asuransi bencana. Padahal, asuransi dapat menjadi jaring pengaman finansial. Pemerintah, melalui program seperti Asuransi Usaha Mikro dari Jamkrindo, telah berupaya meningkatkan akses ini, meski penetrasinya masih rendah.
Keempat, edukasi dan simulasi. Pelatihan tanggap bencana bagi pelaku UMKM, seperti yang dilakukan BPBD di berbagai daerah pada 2022-2024, meningkatkan kesiapsiagaan. Simulasi evakuasi dan penyusunan rencana kontinjensi membantu UMKM meminimalkan kepanikan saat bencana terjadi.
Baca juga : Uniknya Stik dan Cistik Elniwa dari Bandung Berbahan Tepung Beras Ketan
Transformasi Digital sebagai Solusi Modern
Di tengah ancaman bencana, transformasi digital menjadi katalis untuk memperkuat ketahanan UMKM. Digitalisasi tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga membuka akses pasar yang lebih luas.
Menurut Kemenko Perekonomian (2023), kontribusi ekonomi digital terhadap PDB mencapai 8,7 persen pada 2022, dengan proyeksi meningkat hingga 20 persen pada 2045. UMKM yang beradaptasi dengan teknologi memiliki peluang lebih besar untuk bertahan.
Pertama, e-commerce sebagai alternatif penjualan. Platform seperti Tokopedia dan Shopee memungkinkan UMKM menjangkau pelanggan meski toko fisik terdampak bencana.
Data dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menunjukkan pada 2023, 19 juta UMKM telah bergabung ke platform digital, naik 12 persen dari 2021. Contoh nyata, UMKM kuliner di Palu pasca-tsunami 2018 berhasil bangkit dengan memasarkan produk melalui media sosial dan marketplace.
Kedua, pemasaran digital. Dengan alat seperti Google Ads atau media sosial, UMKM dapat mempertahankan visibilitas. Google Keyword Planner, misalnya, membantu mengidentifikasi kata kunci populer seperti “produk lokal tahan bencana” atau “UMKM digital”, yang meningkatkan peringkat SEO dan menarik konsumen. Pada 2024, pencarian terkait “UMKM digital” melonjak 25 persen menurut tren Google, menandakan minat publik yang tinggi.
Tantangan dan Dukungan Pemerintah
Meski menjanjikan, transformasi digital menghadapi kendala. Data Bank Indonesia (2023) menunjukkan 60 persen UMKM masih kesulitan mengakses teknologi karena keterbatasan modal dan literasi digital. Di sinilah peran pemerintah krusial.
Program Kartu Prakerja sejak 2020 telah melatih 17 juta orang, termasuk pelaku UMKM, dalam keterampilan digital. Selain itu, Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital 2030 (2023) menargetkan digitalisasi 30 juta UMKM pada 2024, dengan fokus pada pelatihan dan subsidi teknologi.
Ketahanan UMKM di tengah ancaman bencana bergantung pada dua pilar utama: strategi mitigasi yang terencana dan transformasi digital yang cepat. Data tiga tahun terakhir menunjukkan bencana terus mengancam, tetapi dengan pemetaan risiko, infrastruktur tangguh, asuransi, dan edukasi, dampaknya dapat ditekan.
Di sisi lain, digitalisasi melalui e-commerce, cloud, dan pemasaran online menjadi jalan keluar modern untuk mempertahankan operasional dan pasar. Dukungan pemerintah dan kesadaran pelaku UMKM akan teknologi adalah kunci keberhasilan. Tanpa langkah ini, UMKM berisiko tenggelam dalam ketidakpastian bencana dan persaingan digital.