Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, B.Eng., M.Eng., Ph.D., sejak kecil telah tertarik terkait bidang penginderaan jauh atau remote sensing.
Hal itu bermula karena janji yang ia utarakan kepada ayahnya di usia 5 tahun. Ia ingin membuatkan radar yang original dan pertama di dunia untuk melindungi ayahnya saat bertugas menjadi anggota Kopasgat TNI-AU.
“Sensor yang terpasang pada satelit untuk observasi bumi biasanya menggunakan sensor pasif atau optik (kamera) dan sensor aktif, yaitu sensor gelombang mikro. Sensor kamera sangat bergantung pada sinar matahari sehingga penggunaannya terbatas. Sedangkan sensor aktif atau radar, dapat mengirimkan dan menerima sendiri gelombang mikro yang dipancarkan, sensor ini dapat dioperasikan 24 jam tanpa pengaruh sinar matahari,” kata Josaphat Tetuko dikutip dari rilis ITB, Rabu 6 Juli 2022.
Synthetic Aperture Radar (SAR) merupakan contoh dari radar tersebut, yang cocok dioperasikan di kawasan yang memiliki distribusi awan yang padat seperti Indonesia. Sensor SAR dapat diandalkan untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam dan monitoring kondisi infrastruktur negara.
Di antara 446 satelit yang mengorbit untuk observasi bumi, hanya ada sekitar 15 satelit yang dibekali SAR dan bekerja pada frekuensi L, C, S dan X bands.
“Kebutuhan akan SAR yang akurat, ringan, tangguh (robust), kaya informasi polarisasi, multiplatform untuk pesawat tanpa awak, pesawat terbang, hingga satelit, mendorong saya menciptakan Circularly Polarized Aperture Radar (CP-SAR) yang telah dikembangkan di Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory,” tutur Profesor di Chiba University, Jepang.
CP-SAR ini telah menerima hak paten berjudul “Radar and Radar onboard Satellite” bernomor 7028437. Prof. Josepath melanjutkan, CP-SAR telah unjuk gigi di panggung dunia dan turut membantu perancangan dan pembangunan sistem SAR bagi berbagai institusi ruang angkasa dunia, yakni ESA, JAXA, KARI, NSPO, BRIN, dan lain-lain.
Menurut Prof. Josaphat, ini merupakan bentuk diplomasi ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia.
“Kita mempunyai populasi penduduk seperempat dunia. Sudah sewajarnya kita dapat menguasai setidaknya seperempat porsi dunia di segala bidang, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi,” ungkap pendiri Josapath Microwave Remote Sensing Laboratory.
Keunggulan lain sensor SAR adalah dapat menghasilkan informasi intensitas, fase, dan polarisasi. Meskipun hanya tiga parameter, berbagai informasi turunannya dapat digunakan untuk monitoring bencana, pertanian dan perkebunan, perikanan, infrastruktur, pemetaan sumber daya alam dan pemukiman, serta mendukung One Map Policy, tracking pelintas batas negara, antiteroris, dan lain-lain
Efisiensi
Contoh aplikasi SAR yang sudah dikembangkan di Josaphat Laboratory adalah pemanfaatan CP-SAR untuk deteksi pesawat terbang yang lebih detail dan akurat dibandingkan radar bandara konvensional saat ini. Nantinya, aplikasi SAR tersebut dapat dimanfaatkan untuk modernisasi radar bandara sebagai pengatur lalu lintas udara.
Penerapan SAR interferometri untuk kebencanaan, khususnya di wilayah Indonesia, telah diinisiasi sejak tahun 1999 dengan menggandeng berbagai pihak di Indonesia, khususnya para staf di Prodi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB. Hasil kerja sama tersebut mampu menggambarkan fenomena penurunan tanah, kebakaran hutan, hingga pemantauan letusan gunung berapi yang kerap terjadi.
Teknologi penginderaan jauh menjadi kunci untuk mengefisiensikan pengelolaan bangsa dan negara ini.
“Semoga teknologi ini dapat terus dikembangkan dan lanjutkan oleh para peneliti muda kita. Hasil karya orang Indonesia ini diharapkan dapat berkontribusi bagi dunia untuk menjaga lingkungan dan keamanan global sehingga teknologi penginderaan jauh Indonesia dapat menjadi kiblat bagi negara-negara lain. Tentunya, ini menjadi kunci negara kita untuk memimpin dunia,” pungkas Prof. Josaphat. (Yatni Setianingsih/Golali.id)
foto : Humas ITB