Artikel dari Safinah Zahroh Arrahma adalah salah satu peserta Pekan Menulis Artikel Sejarah, yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke-1 Temu Sejarah.
Seluruh isi artikel murni pandangan dari penulis, isi artikel diluar tanggung jawab redaksi Golali.id
Menegakkan keadilan, memelihara keamanan, dan mengayomi masyarakat adalah tiga (3) hal Tugas Utama Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam UU No. 2 tahun 2002. Tentu di dalamnya menyimpan sebuah harapan besar, khususnya bagi masyarakat Indonesia untuk mendapat hak yang semestinya dari anggota kepolisian sebagai Garda Depan dalam menegakkan keamanan masyarakat.
Namun, sayangnya lambat laun kepercayaan masyarakat kepada pihak Kepolisian semakin berkurang karena banyaknya kasus yang menjerat beberapa oknum kepolisian. Mulai dari kasus Polisi tembak Polisi, Polisi tendang Pemotor, Polisi yang terjerat kasus Narkoba, bahkan sampai Polisi yang terlibat dalam kasus Pemerasan. Yang seharusnya menjadi Garda Terdepan dalam melindungi keamanan masyarakat, yang seharusnya menjadi Contoh Baik untuk masyarakat, kini seakan Kepolisian kehilangan identitasnya. Hilang marwah di mata masyarakat sebab ‘oknum’ yang telah mencemarkan nama baik Kepolisian.
Dan mirisnya, hal ini nyatanya sudah terbaca jelas di Indonesia sejak dulu. Bahkan Mantan Orang Nomor 1 di Indonesia, Abdurrahman Wahid –yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur pernah berkata bahwa di Indonesia hanya ada 3 Polisi yang bisa dipercaya: Polisi tidur, Patung Polisi, dan Jenderal Hoegeng.
Lantas, siapakah sosok Jenderal Hoegeng yang dimaksud oleh Gus Dur? Apakah pernyataan itu sekadar pujian atau cenderung pada sebuah kritik tajam? Atau justru keduanya? Memuji sosok Jenderal Hoegeng sekaligus memberikan kritik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia?
Jenderal Hoegeng Iman Santoso
Jenderal Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Nama pemberian ayahnya adalah Iman Santoso, masa kecil dia dipanggil Bugel (gemuk). Lama kelamaan menjadi Bugeng, kemudian berubah menjadi ‘Hugeng’. Beranjak dewasa hingga usia tuanya, tubuhnya berubah menjadi kurus, tetapi panggilan ‘Hoegeng’ tetap tersemat menjadi namanya.
Sejak kecil, beliau bercita-cita menjadi seorang polisi yang menjunjung tinggi kejujuran dan profesionalitas. Cita-cita tersebut tertanam kuat dalam diri Hoegeng kecil, sebab ayahnya beserta dua sahabatnya merupakan Trio Penegak Hukum yang saat itu sangat dikenal dengan sikap yang amanah. Mereka adalah Sukario Hatmodjo (ayah Hoegeng) yang pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan di daerah Pekalongan, Ating Natadikusumah–Kepala Kepolisian, dan Soeprapto–Ketua Pengadilan.
Jejak Kisah Kejujuran Hati Jenderal Hoegeng
Jenderal Hoegeng adalah seroang anggota Kepolisian yang dikenal sebagai Antikorupsi, kolusi, dan nepotisme garis keras. Ia selalu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan segala hal-hal kotor tersebut masuk ke dalam ranah keluarganya. Hal itu tercermin saat ia diangkat menjadi Kepala Reskrim di Sumatra Utara.
Saat itu rumah dinas belum siap, tetapi telah disiapkan untuknya sebuah rumah indah lengkap dengan mobil sebagai sambutan dan kado diangkatnya Hoegeng sebagai Kepala Reskrim. Namun, ia menolak tinggal di sana dan memilih menginap di sebuah penginapan biasa sampai rumah dinasnya selesai. Dan di belakang hari diketahui, ternyata kado tersebut dari bandar judi .
Tak hanya itu. Ketika rumah dinas telah siap untuknya, di sana telah tersedia pula meja-kursi dan barang mebel yang bagus. Namun ia merasa tidak pernah memesan barang-barang mahal tersebut. Lantas, ia memerintahkan abdinya untuk mengeluarkan paksa semua meja serta kursi tersebut, kemudian diletakkan di pinggir jalan. Kota Medan pun sempat heboh dengan peristiwa itu. Dan ternyata, barang-barang itu merupakan kiriman dari orang yang biasa melakukan suap .
Sebagai kepala keluarga, ia pun meminta istrinya menutup toko bunga yang telah istrinya rintis sejak nol, saat ia diangkat oleh Bung Karno menjadi Direktur Jenderal Imigrasi. Terpaksa ia melakukannya agar orang-orang yang memiliki urusan imigrasi tidak selalu memesan bunga kepada istrinya. Selain itu, ia melarang anak-anaknya untuk mengikuti jejaknya menjadi anggota kepolisian, sebab khawatir semua proses akan dimudahkan jika tahu mereka adalah anak dari Jenderal Hoegeng.
Ketika menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia pada masa Orde Baru, Hoegeng menginstruksikan kepada semua Kapolda dan Kepala Keamanan Pelabuhan agar mendaftarkan kekayaannya sebagai perwujudan komitmennya anti korupsi. Jika kekayaan sudah terdaftar, maka mudah memonitori sumber tambahan kekayaan yang masuk, sebab Hoegeng mengetahui besaran gaji masing-masing anak buahnya.
Refleksi Keteladanan Jenderal Hoegeng
Begitulah Jenderal Hoegeng dengan kehati-hatianya dalam mengemban amanah. Meski pada akhirnya, masa jabatannya sebagai Kapolri diberhentikan sebelum masanya (dengan dalih regenerasi) setelah ia berhasil menguak kasus korupsi besar yang merugikan negara ratusan juta rupiah, ia tetap menjadi sosok pahlawan nasional dimata masyarakat. Tak heran jika Gus Dur mengatakan bahwa ia merupakan satu dari tiga Polisi yang bisa dipercaya.
Sosok tegas dan berani Jenderal Hoegeng memanglah sudah tiada di bumi Pertiwi ini. Bahkan di akhir ceritanya dalam berjuang untuk keamanan dan keadilan negara pun ia menjadi tokoh protagonis yang disisihkan oleh oknum yang memiliki kuasa lebih besar dengan jumlah yang lebih banyak.
Meski raganya telah tiada, sosok berani Hoegeng dalam memberantas kejahatan di Indonesia sangat harum membawa namanya dan membawa harapan di hati masyarakat, kelak akan lahir Hoegeng-Hoegeng baru di negeri ini.
Baginya, menjadi Polisi bukanlah soal uang dan jabatan yang beken yang dapat dipamerkan dengan kesombongan. Namun menjadi Polisi adalah tanggung jawab besar yang akan dipertanyakan oleh Tuhan. Seperti yang pernah ia katakan, “Selesaikan tugas dengan kejujuran, sebab kita masih bisa makan nasi dengan garam.” Namun masalahnya, masih adakah seseorang, memiliki kekuasaan yang mau makan nasi dengan garam hanya untuk sebuah kejujuran?