ITB dan Rumah Amal Salman mendirikan shelter yang terbuat dari bambu, sebagai tempat pengungsian sementara bagi warga korban gempa Cianjur. Shelter berbahan bambu dan terpal ini, dirancang desainer dan dosen SAPPK ITB, Dr.-ing. Andry Widyowijatnoko, S.T., M.T.
Ia menjelaskan pemilihan material bambu ini terkait dengan kemudahan akses, melimpahnya ketersediaan, dan harganya yang murah. Juga kekuatan internal bambu sebagai material juga menjadi pertimbangan.
“Sejak dulu juga sudah sangat dikenal bahwa bambu merupakan material semi-permanen temporer yang amat baik”, katanya dilansir dari website ITB, Jumat 2 Desember 2022.
Selain itu, sambungnya pembangunan shelter bambu hanya membutuhkan waktu 5 jam. Dari mulai peletakkan rangka hingga siap untuk digunakan.
“Secara tradisional, masyarakat yang ada di sana sudah familiar dengan bambu. Namun, menggabungkan teknik pasang mur-baut dengan bambu adalah hal baru buat mereka. Untungnya, mereka juga dengan mudah mengadaptasi teknik ini dan dengan cepat ikut kontribusi juga dalam proses konstruksi,” sambungnya.
Perbedaan shelter bambu
Biasanya, tenda-tenda dari BNPB menggunakan penutup berupa terpal atau seng. Material penutup ini mengalirkan panas dari matahari ke ruang di bawahnya secara langsung. Akibatnya, dengan ketinggian yang lebih minim, tentunya pengungsi akan menerima aliran panas tersebut.
Shelter ini juga menggunakan material penutup yang sama, yaitu terpal. Namun, shelter ini mampu memberikan kenyamanan yang lebih bagi pengungsi. Hal ini karena ketinggian minimum dari shelter ini mencapai 5 m, yang berarti paparan panas lebih tidak mengganggu ruang di bawahnya. Desain shelter karya dosen ITB dan tim-nya ini mampu mencapai bentang 8×12 m dan ketinggian 14 m.
Berdasarkan standar, ukuran shelter untuk korban bencana atau mitigasi bencana yang lazim adalah 5,5 m x 12 m dengan tinggi 3,25 m.
“Shelter bambu ini mampu menampung 50 orang lebih, dan mampu memberikan kenyamanan ruang menyeluruh yang lebih baik kepada pengungsi,” imbuhnya.
Saat ini, juga telah berdiri shelter komunitas untuk masjid darurat dan telah diresmikan saat sholat jumat di tanggal 2 Desember 2022.
Ia membuat inovasi shelter bambu berdasarkan pengalaman shelter gempa, yang sudah dikerjakan sebelumnya.
“Sebelumnya, saya sudah memiliki model-model struktural yang siap pakai. Saya dan tim banyak mengambil dari kasus-kasus shelter gempa sebelumnya, seperti di Palu dan Lombok”.
Karena perbedaan lokasi, masalah baru pun ditemui sehingga desain yang sudah sempat terbangun di kota-kota tersebut tidak dapat sebatas di copy-paste.
“Di Cianjur ini ternyata kekuatan angin yang berbeda daripada di Lombok maupun Palu. Sehingga harus ada adaptasi desain dari kami untuk dapat membangun struktur serupa,” urainya. (Yatni Setianingsih/Golali.id)
Foto : itb.ac.id