Peneliti Unpad Dr. Elvi Citraresmana, M.Hum bersama tim yang terdiri dari dua dosen dan 2 mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, meneliti tentang “Tata Nama Kuliner Sunda Sebagai Kearifan Lokal dalam Perspektif Cognitive Onomastics”.
Elvi mengatakan nama makanan Sunda tidak hanya terdiri dari akronim.
“Ada juga nama-nama makanan Sunda yang memiliki bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya jauh lebih mudah diingat oleh orang lain,” kata Elvi dikutip dari website Unpad.
Penelitian ini dilakukan di tiga daerah di Jawa Barat, yaitu: Bandung, Garut, dan Sukabumi. Beberapa kategori yang ditemukan dari penelitian ini adalah kategori nama makanan jajanan pasar, makanan populer, makanan basah, dan makanan tradisional. Khusus kategori makanan tradisional, Elvi dan tim belum bisa menganalisis karena dibutuhkan pemahaman mendalam seperti sejarahnya.
“Contohnya, Ada makanan yang diberi nama dari cara memakannya seperti citruk. Citruk yang artinya aci ngagetruk menghasilkan bunyi getruk saat digigit karena teksturnya yang keras. Hal ini menjelaskan bahwa hanya dari nama saja bisa menentukan konsumen dan konsumen juga bisa memilih produk yang akan dibeli,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Elvi menjelaskan kalau orang Sunda suka memberikan nama makanan dengan cara diulang-ulang atau reduplikasi.
Contohnya, makanan bala-bala diambil dari kata bala, yang dalam bahasa Sunda artinya tidak bersih atau tidak rapi. Nama ini disematkan karena isi dari bala-bala adalah berbagai macam sayuran yang dicampur tepung dan dibentuk secara asal.
Ada pula reduplikasi yang terdapat pada awal silabel seperti rarauwan. Rarawuan diambil dari kata dirawu yang artinya diambil segenggam.
Ada pula nama makanan yang cukup unik, yaitu goréjag. Kata ini merupakan singkatan dari goreng jagung. Goréjag juga adalah sinonim dari ngoréjat yang dalam bahasa Sunda artinya terkejut. (Yatni Setianingsih/Golali.id)