Foggy FF Ceritakan Bandung dalam Novel Braga at Paris Van Java

Selepas hujan sore itu, dengan suasana syahdu dan jalanan yang masih basah, Foggy Fauziah Ferdiana atau Foggy FF mengajak kembali bernostalgia tentang Bandung di masa lalu.

Kecintaanya pada Bandung yang mendorongnya menulis sebuah buku fiksi bernuansa sejarah, berjudul “Braga at Paris Van Java” yang diterbitkan pertama kali pada bulan Oktober 2023 melalui penerbit Yrama Widya.

“Karena saya orang Bandung, meski tanpa sengaja lahir di kota lain, orang tua dan seluruh keluarga saya berasal dari Bandung,” tutur perempuan kelahiran Solo ini.

Foggy bercerita merasa memiliki keterikatan dengan kota ini, sehingga Foggy ingin berkisah tentang banyak hal yang ditemui dari kisah hidupnya sewaktu kecil, yang sekarang sudah jarang Foggy lihat lagi seperti makanan, permainan, cara orang memasak, cara orang bersosialisasi di lingkungan bermasyarakatnya, dan lainnya.

“Saya ingin memiliki kontribusi untuk kota yang saya cintai, yang tengah mengalami perubahan besar. Saya ingin turut menyoroti isu-isu sosial yang menjadi problematika kita bersama, masyarakatnya, juga para pendatang yang turut menikmati fasilitas yang ada di Kota Bandung,” tuturnya mengalir.

Alur cerita

Di dalam bukunya, Foggy mengisahkan Bandung tempo dulu dari kacamatanya sebagai anak-anak dan remaja. Lalu mengkorelasikannya dengan kondisi Bandung saat ini.

“Dalam novel ini, saya berusaha menggarisbawahi, bahwa perubahan adalah hal yang niscaya terjadi, tetapi apa yang menjadi kearifan dan cara hidup orang Bandung tempo dulu yang bisa kita adaptasi saat ini, sebaiknya tetap kita hormati, tanpa hanya sebatas beromantisasi saja. Juga berusaha untuk kritis terhadap masalah yang terjadi di Kota Bandung,” paparnya.

Bandung nyatanya memang begitu istimewa bagi Foggy, sejak kecil segala hal sederhana yang ia temui di Kota Bandung begitu memukau dan memiliki arti besar.

“Saya jadi belajar banyak kalau hal-hal besar itu lahir dari cara berpikir dan cara hidup yang sederhana. Misalnya, kearifan lokal yang saya temui di lingkungan masyarakat saya dulu yaitu daerah pinggiran Kota Bandung. Cara orang saling mengunjungi tetangga atau sanak keluarga saat lebaran seperti bertukar penganan, cara masyarakat saling membantu saat tetangganya ditimpa musibah, bahkan ketika melaksanakan perayaan yang membahagiakan pun semua tetangga turut membantu,” paparnya.

“Dalam proses kreatif menulis buku, saya melakukan riset mendalam tentang toponimi dan karakter masyarakat khususnya yang saya coba perdalam, karena itu saya menggunakan studi kepustakaan dari buku-bukunya Pak Haryoto Kunto, Pak Her Suganda, dan Pak Sudarsono Katam. Saya juga membuat peta karakter untuk membangun dunia imajinasi yang saya kisahkan,” urainya.

Lewat buku yang ia tulis, Foggy berharap bahwa masyarakat Bandung dapat mengenal kotanya dengan lebih dekat. Turut peduli akan apa yang terjadi, tidak sebatas hidup dan menjalani rutinitas tanpa menyadari terhadap masalah besar yang kita semua sedang hadapi.

“Meskipun novel ini fiksi, tapi saya ingin menyentuh pembaca agar lebih peduli terhadap Kota Bandung,” tandasnya.

Selain beberapa gedung heritage yang diungkapkan di kisah “Braga at Paris Van Java”, Foggy juga menyitir beberapa nama pahlawan yang lahir dan besar di Kota Bandung, yang mungkin kurang dikenal oleh para remaja, seperti Raden Dewi Sartika, Mohammad Toha, dan Djuanda Kartawidjaja.

Beberapa nama ini Foggy sebutkan di dalam puisi yang ia buat, ketika salah satu tokoh membacakannya di hadapan khalayak.

“Untuk menggabungkan unsur fakta sejarah dengan imajinasi dan kreativitas dalam menulis buku ini tentu ketika seorang penulis membangun dunia imajiner yang menaungi tokoh-tokohnya, ia tak terlepas dari logika cerita dan latar belakang sejarah. Bagi saya, keterkaitan fakta sejarah, logika cerita, dan linimasa peristiwa itu harus saling berkesinambungan, agar jangan sampai muncul cerita yang cacat logika,” terangnya Rabu 24 April 2024.

Foggy menambahkan bahwa beberapa pengalaman masa kecil dan sensasi kejadian yang ia rasakan, turut ia kemukakan ketika membangun emosi karakter novel ini. Namun, tidak semua unsur yang ia bangun dalam novel ini berdasarkan kenyataan. Sebagian besar karakter dalam novel ini, adalah rekaan atau fiktif.

“Mudah-mudahan setelah membaca novel ini, pembaca turut peduli akan banyak hal yang terjadi di kota kita. Bagaimana kita peduli akan urusan sampah dan pengelolaannya, masalah kemacetan yang seolah tak ada habisnya, serta peduli untuk mengentaskan angka kejahatan yang kian meninggi,” ulasnya.

Foggy juga mengatakan bahwa buku ini bukan sekadar untuk orang Bandung pituin, tetapi juga untuk para pendatang, bahkan untuk mereka yang belum pernah datang ke Kota Bandung.

“Saya berharap buku ini dibaca dan sanggup memotivasi pembacanya untuk peduli pada Kota Bandung. Saya percaya, seperti yang saya representasikan dalam kisah di buku ini, bahwa perubahan itu bisa dari aksi kecil yang dilandasi oleh kepedulian, yang akan membesar dan punya dampak terhadap perubahan, dalam mengentaskan problematika yang sedang terjadi di Kota Bandung,” paparnya.

“Semoga buku ini bisa menginspirasi. Kamu yang sedang duduk di sudut sambil membaca, lalu memungut sampah di sekitarmu dan menyuarakannya ke orang banyak, kalau aksimu nyata,” pungkasnya. (Tiwi Kasavela/Golali.id)

Tiwi Kasavela adalah Founder Temu Sejarah Indonesia, Novelis, dan Praktisi Media

foto : Foggy FF (Dok : istimewa)