Masjid Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat (Jabar) berada di Jalan Diponegoro No 63, atau sekitar satu kilometer ke arah timur dari kantor pemerintah Provinsi Jabar yaitu Gedung Sate.
Dari Gedung Sate ke Masjid Pusdai Jabar dapat menaiki transportasi umum :
atau
atau
Sejarah Masjid Pusdai Jabar
Masjid Pusdai Jabar merupakan bagian dari Kompleks Pusdai Jabar sebagai Islamic Center milik pemerintah Provinsi Jabar, yang dibangun di atas lahan seluas 4,5 hektar.
Seperti kompleks Islamic Center pada umumnya, di sini pun berdiri beberapa bangunan yang saling melengkapi.
Yaitu gedung serbaguna bale asri, ruang cendekia C dan D yang biasa digunakan untuk seminar, ruang lumbung zakat, ruang perpustakaan, ruang multimedia, ruang pameran Mushaf Sundawi, ruang galeri, ruang perkantoran, dan kantin.
Desain arsitektur masjid yang dirancang oleh arsitek Slamet Wirasonjaya ini, memadukan gaya arsitektur negara tropis, tradisional Sunda, dan masjid di Timur Tengah.
Pendirian Kompleks Pusdai Jabar, termasuk masjid yang terdiri dari dua lantai ini, ternyata memakan waktu yang sangat panjang.
Kabarnya Pusdai Jabar merupakan cikal bakal pendirian Islamic Center di Indonesia.
Ide pendirian Islamic Center tercetus dari para ulama dan umat Islam di Jabar sekitar 1977 – 1978, dalam menyambut abad 15 Hijriah yang dianggap sebagai abad kebangkitan kembali umat Islam, gagasan tersebut mendapat sambutan positif dari Gubernur Jabar pada masa itu Aang Kunaefi (1975 – 1985).
Lima tahun kemudian atau pada 1982 setelah melalui beberapa kali pembahasan, baru keluar Surat Keputusan (SK) Gubernur mengenai pembangunan Islamic Center.
Sementara pembebasan lahan dan perencanaan pembangunan menghabiskan waktu 10 tahun, yakni dari 1982 sampai dengan 1992, saat itu Gubernur Jabar dijabat oleh Yogie S Memet (1985 – 1993).
Pembangunan fisik dimulai 1992 dan selesai serta diresmikan pada 2 Desember 1997 oleh Gubernur Jabar R Nuriana (1993 – 2003) dengan nama Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jabar.
Nama itu dipilih katanya sebagai pendekatan dari istilah Islamic Center, dalam bahasa Inggris yang terjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Sejarah Gedung Sate
Gedung Sate yang berada di Jalan Diponegoro Nomor 22 Kota Bandung, mulai dibangun pada 27 Juli 1920.
Peletakan batu pertama pembangunan Gedung Sate dilakukan :
1.Johana Catherina Coops, putri dari Wali Kota Bandung saat itu Betrus Coop
2.Perwakilan Gubernur Hindia-Belanda di Batavia, Petronella Roelofsen.
Gaya arsitektur Gedung Sate, mengadopsi model bangunan Italia di Zaman Renaissance dengan perpaduan tradisional Nusantara atau dikenal dengan sebutan arsitektur Indo-Eropa. Didesain arsitek asal Belanda J Gerber.
Arsitektur Eropa, kental terasa pada bagian dalam Gedung Sate yang memiliki langit-langit yang tinggi, pilar besar, dan banyaknya jendela. Sementara gaya tradisional, terlihat pada bagian pintu masuk Gedung Sate mirip dengan bangunan candi-candi Hindu. Serta memiliki atap tumpang pada bagian atasnya.
Pembangunan Gedung Sate melibatkan, 2.000 pekerja dan menghabiskan biaya 6 juta gulden. Gedung Sate selesai dibangun pada 1924.
”Kenapa sate karena dulu ada 6 juta gulden biaya pembangunannya. Satu juta disimbolkan dengan satu sate,” ungkap Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil saat peringatan 100 tahun pembangunan Gedung Sate, 27 Juli 2020 dikutip dari jabarprov.go.id.
Setelah selesai dibangun, Gedung Sate yang di masa Hindia Belanda bernama, Gouvernements Bedrijven disingkat “GB” atau Pusat Instansi Pemerintahan, digunakan sebagai kantor Departement Verkeeren en Waterstaat (Departemen Lalu Lintas dan Pengairan) atau saat ini dikenal dengan nama Departemen Pekerjaan Umum.
Pemindahan Ibu Kota
Berdirinya Gedung Sate sebagai bagian dari rencana Pemerintah Hindia Belanda pada masa Gubernur Jenderal JP Van Limburg Stirum, yang mendapatkan usulan dari Ahli Kesehatan Lingkungan H F Tillema untuk memindahkan ibu kota dari Batavia (Jakarta sekarang) ke Bandung.
Namun, pada tahun 1930 terjadi resesi ekonomi, sehingga pemindahan ibu kota pun batal dilakukan.
Pada masa penjajahan Jepang, Gedung Sate digunakan sebagai pusat pemerintahan dan Komandan Militer.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Gedung Sate oleh Pemerintahan Indonesia kembali digunakan sebagai kantor Departemen Pekerjaan Umum.
Gedung Sate, menjadi saksi sejarah para pemuda yang berjuang melawan tentara Gurkha dan NICA dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, saat itu pada 3 Desemeber 1945 Gedung Sate digunakan sebagai kantor Departemen Pekerjaan Umum.
Mengutip dan pu.go.id dan jabarprov.go.id , para pemuda yang merupakan pegawai Departemen Pekerjaan Umum tersebut tergabung dalam Angkatan Moeda Pekerdjaan Oemoem. Saat serangan tersebut, tujuh pemuda gugur dalam pertempuran melawan tentara sekutu yang tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Mereka bernama Soehodo, Didi Hardianto Kamarga, Muchtarudin, Ranu, Soebengat Soerjono, dan Rio Soesilo. Sebagai cara untuk mengenang jasa para pemuda tersebut, waktu terjadinya perstiwa ini diabadikan sebagai Hari Kebaktian Pekerjaan Umum oleh Departemen Pekerjaan Umum pada 1961.
Sampai akhirnya pada tahun 1980, di masa Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi Kartawiria, Gedung Sate mulai digunakan sebagai kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. (Yatni Setianingsih/Golali.id)